|

Mengirim Senja

Waktu aku tiba di pesisir ini, senja baru saja melangkah. Aku dan senja saling menatap, saling menyapa. Betapa ayu senja kala itu. Ribuan keluang betebangan keluar dari gua-gua mereka di balik pohon-pohon yang rapat di Hutan Sancang di sebelah kiriku. Bena menampar-nampar karang. Matahari memantai dan hanya menyisakan semburat indigo. Ada ungu keemasan beraduk garis-garis horizontal merah bercampur hitam dan biru. Tak ada nyiur melambai dalam rangkaian tarian laut. Semata sunyi. Tapi jika kau memasang telingamu dengan waspada, tentu kau bisa menangkap debur ombak pasang.

Tapi detik ini, hanya mata yang hirau akan senja itu. Jikapun kalong-kalong pada senja itu bercericau, atau peri-peri yang berupa kirana-kirana putih cerlang di lautan yang hitam itu menggumamkan senandung, aku abai. Karena kini, hanya lanskap senja saja yang menarik perhatianku.

Tentunya, ini bukanlah sepotong senja yang dimasukkan ke dalam amplop untuk seorang pacar bernama  Alina. Memang, ada angin dan debur ombak di senja yang kulihat kini. Tapi seperti sudah kubilang tadi, tak ada lagi mentari, karena ia telah tergelincir jatuh dalam lekapan malam. Langit pun tak sepenuhnya berwarna keemasan seperti senja milik Sukab, tapi nila. Tak ada burung atau perahu seperti senja yang dikirimkan Sukab pada Alina.[1]

Ah, menatap senja seistimewa ini tiba-tiba saja aku ingin mengerat senja itu jadi seukuran kartu pos dan mengirimkannya buat pacarku. Aku ingin ia memiliki lempengan senja yang ini, sebelum langit sepenuhnya hitam dan satu-satunya petunjuk bahwa kau tengah berada di tubir pantai hanyalah dari suara air memukul-mukul daratan dan menyeret serta pasir-pasir basah.

Tapi aku tak siap. Aku kan tak tahu bahwa aku kan berhadapan dengan senja yang begini. Mana aku ingat untuk menyiapkan cutter dan amplop dan perangko untuk selempeng senja yang langitnya penuh codot, yang dihutan-hutan yang menjadi kawan setianya tinggal harimau jadi-jadian yang jika pagi tiba kau dapat melihat jejak-jejaknya di pasir putih. Aku tak siap dengan amplop dan perangko, sedangkan kantor pos pun tak kutemui ada dekat sini.

Keputusan itu harus segera kuambil. Lima menit lagi, belum tentu langitnya tetap seperti ini. Aku tak mau mengirimkan senja yang hitam karena nantinya ia takkan bisa menatap semburat warna marun itu diantara dominasi violet dan biru. Ia juga takkan dapat melihat buih bergulung kembali ke pelukan samudera. Dan kepak sayap kelelawar, jangan lupakan hewan mamalia terbang itu! Ia takkan mendapatkan semua visual itu jika langit telah gelap. Ia harus mendapatkannya utuh. Senja seperti yang memukauku saat ini.

Ketika aku bersiap hendak mengirimkan senja itu, tiba-tiba aku teringat sebuah masalah krusial dan sangat menentukan; tak ada pacar untuk dikirimi senja. Padahal aku sudah menemukan cara paling efektif, yang paling mudah, cepat dan murah agar senja itu bisa dinikmati di tempat selain pantai. Hanya sejarak jari telunjuk dan jempol.

Namun pertanyaan yang mengganggu saat ini adalah: siapa yang akan kukirimi selempeng senja ini?

Senja semanis ini tak boleh dinikmati sendirian. Dalam saujana senja dan kilauan air laut ini, jika kau sendiri, kau akan mabuk dan larut dalam kesunyian yang depresif. Sepi akan mencuri sedikit demi sedikit kemampuan serabut aferen mengirimkan impuls ke otak, dan serabut eferen gagal menerjemahkan perintah otak kepada organ-organ tubuh hingga lumpuh. Dan enzim-enzim yang melumasi persendianmu, akan disedot pelan-pelan hingga kau melunglai lemas. Jadi senja ini harus kukirimkan secepatnya, agar efek dari senja yang manis ini tak membunuhku.

***

Bibirnya adalah bibir paling manis yang pernah kusesap. Yang paling menawan yang pernah kusentuh. Aku hendak menyesapnya lagi, sedikit, sedikit, sedikit lagi…hingga telepon genggam di atas meja kaca itu bergetar memekakkan sebuah ringtone polyphonic. Telingaku pengang. Bibirku kering dan haus.

Aku ingin melempar benda itu jauh-jauh, tapi siapa tahu ini panggilan penting. Perempuan berbibir manis itu terduduk kaku, menyentuh bibirnya canggung. Ia menatapku bergantian dengan ponsel yang merajuk-rajuk ingin dicemplungkan ke dalam bak mandi.

“Halo?” sapaku setelah kutekan tombol berlampu hijau itu.

“Pak, saya bermaksud menawarkan senja! Murah, Pak! Lengkap! Ini jenis senja pantai yang paling indah. Senja yang langka!”

Bapak. Aku tak suka dipanggil bapak. Umur, suara, dan penampilanku belum mencukupi untuk gelar bapak. Perempuan di ujung telepon merepet terus sebelum aku sempat bilang bahwa aku tak tertarik. Aku sedang haus ingin menyesap lagi bibir paling manis milik perempuan di hadapanku, yang mulai menatapku tak suka karena panggilan telfon ini.

“Maaf, tapi saya….!”

Usaha saya untuk berbicara dipatahkan begitu perempuan disana kembali mericau.

“Dijamin asli Pak! Bapak tidak akan rugi. Senja ini berwarna ungu, dengan bintang-bintang yang mulai berdatangan. Yah, memang sih bulan sudah tak utuh lagi. Tapi apa guna rembulan jika di horison terbentang langit paling cantik? Saya hanya menawarkan satu senja saja. Khusus untuk Bapak! Ada layanan antar jika bapak…”

“Tapi saya tidak…!”

“Dan Bapak harus segera memesannya sebelum langit berubah warna. Saya bisa bungkuskan sekarang juga dan dimasukkan freezer, agar posisi setiap benda tak berubah dan air asin takkan tumpah membanjiri rumah Bapak! Saya juga sudah menyiapkan paket pengawet agar Bapak bisa menikmati senja itu kapanpun bapak suka! Pagi-siang-sore-malam-pagi lagi, kapanpun! Tak masalah! Dan Bapak juga bisa…..”

“Saya tidak tertarik!” tukasku gusar. Saya harus segera menghentikan pembicaraan tak berguna ini.

“Bapak bisa tidur malam dengan hawa pantai! Ada harum cangkang kerang, juga wangi angin bergaram, bau pelagas yang melayang-layang di permukaan laut, dan perempuan-perempuan mungil bersayap transparan yang baru mandi dan berhamburan keluar dari rumah-rumah mereka yang tersembunyi. Telinga bapak juga dihibur dengan perirana laut. Ada desih pasir-pasir saling bergesekan, gurauan sesama peri dan lengking tawa merdu mereka.”

Perempuan berbibir menawan mulai tak sabar. Dari gelagatnya seperti itu, aku khawatir dia akan membadai sebentar lagi. Ini akan jadi masalah pelik, jika perempuan disana tak segera menutup telfonnya. Permasalahannya akan jauh lebih rumit andaipun senja yang ditawarkan SPG di sebalik telfon itu menyemburkan tsunami.

“Bapak tidak akan kecewa karena saya akan mengirimkannya langsung kesana. Murah sekali pak, tapi bisa juga jadi sangat mahal. Bapak cuma harus mengeluarkan secuit cinta. Tak sulit bukan? Untuk sekadar mencongkel sedikiiiiit saja cinta yang Bapak punya? Cinta itu bilapun dibagi-bagi dicubit-cubit sana sini takkan habis bukan? Sayang sekali jika Bapak melewatkan penawaran ini dan membiarkan senja itu hilang begitu saja. Saya akan kirimkan sampelnya dulu, dan akan saya kirimkan selebihnya jika bapak setuju dengan penawaran saya!”

Klik. Ia menutup telfonnya.

Wanita yang kucintai pergi dari hadapanku, meledak dalam amarah.

***

Aku melangut dengan hati ngenas. Ia tampaknya tak tertarik dengan senja itu. Senjanya musnah kini lekat dalam kenang. Formula senja habis oleh waktu. Aku kembali ke metropolitan hanya dengan sejentik ingatan tentang senja yang menghuni sebuah lokus kecil di otak. Tapi, ingatan itupun korup, tak lagi sempurna. Tak lagi serupa dengan senja yang kulihat sore itu. Yang paten bertahan, malah getir.

***

Sales Promotion Girl yang menjual senja padaku lewat telfon akhir pekan lalu benar-benar mengganggu liburanku. Berbeda dengan SPG lain yang dengan segera kulupakan begitu suaranya lenyap, pemikiran tentangnya mengikutiku kemanapun aku pergi. Dan lagi, penjual senja itu membuat kekasihku luka. Ingatan tentang senja itu mencekau kepalaku dan membuatnya nyeri.

Aku tak dapat lagi menikmati senja dengan baik sejak saat itu. Senja telah kuasosiasikan dengan tsunami yang merontokkan riangku. Aku tak dapat meyakinkan perempuanku bahwa telfon itu hanyalah sebuah penawaran seorang skizofrenia yang menyaru jadi sales promotion girl dan berniat menjual senja.

Haha..bagaimana cara menjual senja lengkap dengan desir angin dan bauran ombak dan suara peri dan wangi laut? Absurd!!

Apa lagi yang harus kukatakan agar perempuan pemesona itu luluh dan percaya padaku? Telah kubilang padanya kalau aku takkan mungkin menyerahkan cintaku demi selempeng senja yang bahkan tak mungkin dikerat untuk lalu dipajang di dinding ruang tamu. Tapi ia malah membanjir tangis dan menghukumku dengan amarahnya.

***

Mungkin tak sepantasnya aku mencoba menjual senja padanya. Mungkin seharusnya kuberikan saja secara  cuma-cuma. Sakit karena kehilangan senja ungu itu pasti sama rasanya biarpun aku memberikannya gratis ataupun kujual. Tapi yang pasti, aku tak bisa selamanya menyembunyikan lempengan senja ini. Kelumpuhanku semakin pasti sekian lama senja ini berada di dekatku. Besok, akan kukirimkan lempeng senja ini dan kuselipkan di bawah pintu rumahnya selagi ia masih di kantor.

***

Sebuah paket berisi senja kutemukan di bawah pintuku petang itu.

Awalnya, tentu saja aku tak tahu bahwa paket tersebut berisi senja bermasalah itu. Aku baru mengetahuinya saat kurobek kertas koran penutupnya. Sebentuk senja dengan semburat ungu menyeruak menyilaukan netra. Indaaaah sekali. Lama aku menatapnya tiada kedip.

(Hingga kutemukan di pojok bawah kanan lempengan senja itu, siluet seorang perempuan duduk di atas karang. Suara tangisnya sayup diantara debur ombak, tinggal berupa sisa sengal, berharap laut membawanya pergi).

Di senja yang manis dan memancang mataku itu, perempuan sales girl menangis.

From: Majalah Femina, 2007

Posted by capunx on 7:12 PM. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "Mengirim Senja"

Leave a reply

Blog Archive

Labels

Recently Added

Recently Commented