|

Cermin

Perempuan itu datang saat lelaki itu pergi. Aku bahkan belum selesai melambaikan tangan perpisahan pada lelaki itu, tetapi dia sudah di sana, ribut minta perhatian. Kurang lebih, perempuan ini mirip dengan aku. Hanya saja dia sedikit lebih tinggi. Lebih tirus. Lebih langsing. Lebih menggemaskan. Lebih menggairahkan. Lebih. Stop. Aku tak perlu seseorang membanding-bandingkan diriku dengannya.

Perempuan ini tiba-tiba muncul saat aku tengah bercermin, memandangi wajahku dan membencinya. Dengan gayanya yang sok tahu, dia mengajukan beberapa pertanyaan mengesalkan padaku. Tepat di saat aku tidak ingin diingatkan tentang masalah itu.
“Jadi sekarang kamu sendirian lagi?” tanyanya sambil meniup-niup kuku yang baru saja ia warnai merah menyala. Aku tidak menjawab, hanya memerhatikan kuku menyala perempuan ini. Aku tak pernah cocok memakai kuteks warna merah menyala. Jari-jariku tidak panjang dan lentik, warna merah malah membuatnya semakin terlihat mungil.
“Iri ya liat aku pake kuteks?” tanyanya.
Aku memalingkan muka sambil mendengus.
“Mantan pacarmu itu tak suka ya lihat kukumu pake kuteks?” Dia berkata lagi, sengaja memperolokku. “Sekarang sudah boleh kok kalau kamu mau, nih!” ujarnya sambil mengangsurkan kuteks merah menyala itu ke hadapanku. Aku menolaknya. Tidak.
“Jadi ngomong-ngomong, kalian putus gara-gara kuteks, ya?”
Hah? Rasanya ingin sekali aku menyumpal mulutnya yang lancang itu. Apa sih maksudnya?
“Ngapain sih kamu di sini? Pergi sana!”
Perempuan yang mirip denganku itu bangkit dari meja rias tempatnya duduk, kini pindah ke sudut ranjang.
“Seolah-olah lo bisa ngusir gue aja,” gumamnya sambil masih meniup-niup kuku lalu merentangkan tangannya, melihat seberapa rapi pekerjaannya mengecat kuku.
“Sebenarnya kamu siapa, sih? Ngapain kamu di sini?”
“Pake nanya kamu siapa, lagi! I am you, you are me.” Jelasnya sambil menunjuk dadaku dan dadanya.
“Aku gak bitchy kayak kamu,” kataku sambil meneruskan kegiatanku menatap parasku di cermin. Dia berdiri di belakangku sambil tertawa-tawa sebagai reaksi atas kata-kataku barusan, pantulan tubuhnya yang mendekati sempurna tergambar di cermin.
“Face it, dear. Deep inside your heart, you’re a bitch!” oloknya.
Aku melempar sisir yang kupegang ke arahnya. Dia menghilang dan kembali menjelma di meja rias.
“You’re so annoying!” desisku.
“Hey, it’s better me who annoys you, dibandingin mantan pacar kamu yang payah itu. Tiap hari kamu melamun mikirin dia, nyesel kenapa dulu mutusin dia. Buat apa?”
“Buat apa?” sergahku. “I love him. He’s the best thing ever came into my love life. And for your information, my love life was used to be suck!”
“It still sucks, dear. Believe me.” Dia mengingatkan sambil cengengesan.
“Get lost!” desisku lagi.
“Hey … hey… chill out!”
“No, I can’t chill out while you’re still here and bug me! Just get outta here!”
“I’m coming here to help you. You’re such a mess. Look at you! How can anyone notice you if you keep showing up like this?” tanyanya sambil menunjuk wajah pucat pasi yang terpantul di cermin.
“Bodo,” seruku sambil berjalan ke ranjang, berbaring, dan menutupi seluruh tubuhku dengan bed cover, berharap perempuan pengganggu itu enyah.

Aku memejamkan mata, berharap agar bisa tidur. Tetapi malah wajah lelaki itu yang tergambar lagi. Kilasan-kilasan ingatan saat bersamanya tergambar lagi. Urat-urat tangannya yang menonjol, menciptakan sungai-sungai nadi di kulitnya. Dulu, aku senang membelai nadinya itu, menelusuri asalnya, dari mana dia mulai menonjol. Pelahan, seperti sedang mencari jejak. Dan dia akan membelai rambutku. Mata kami terpancang pada televisi, seolah-olah itulah hal paling menarik bagi kami. Tetapi padahal sebenarnya–setidaknya aku—hatiku berdesir, ingin menyentuhnya lebih lagi.
Perempuan pengganggu itu sepertinya sudah pergi. Suara-suara di sekitarku memudar, dan kutemukan tidur yang pulas.

Dua
“Kenapa matamu sembab?” tanyaku pada perempuan yang sedang membersihkan wajahnya dengan toner itu.
 “Kebanyakan tidur,” jawabnya.
“Boong. Abis nangis, kan?” tanyaku lagi.
“Nah itu tau ngapain nanya?”
“Cuma ngecek aja, apa kamu sudah jujur sama diri sendiri. Ternyata belum.”
“Terserahlah.”
“Nangisin apa?”
Dia tidak menjawab, hanya menatapku tajam sambil membuang kapas kotor ke tempat sampah di sebelah meja rias.
“Oh, mantan pacar kamu lagi, ya?”
Kini dia pura-pura tidak mendengarku, asyik mencolek krim malam dan mengaplikasikannya di wajahnya.
“Udahlah, berhenti mikirin dia. Masih banyak cowok … “
“…di luar sana. Ya ya ya. Aku tahu. Everybody says so.” Potongnya sambil memutar mata.
“Ya udah, ngapain nyiksa diri kayak gitu? Apa? Kamu mau datengin dia? Mau nyembah-nyembah di kakinya minta dia kembali? Mau minta maaf mohon-mohon buat sesuatu yang kamu sendiri bingung apakah kamu telah melakukannya? Iya? Gih pergi aja sana. Taruhan. Hebat kalo kamu enggak ditendang pergi,” aku mengatakan itu sambil terbahak. Lucu aja melihat dia cemberut dan menatapku seperti ingin membunuhku.
“Aku memang ingin membunuhmu,” desisnya.
“Sampai kapan kamu mau begini terus?”
“Sampai dia sadar kalau aku tidak bersalah,”
“Bagaimana dia tahu kalau kamu tidak bersalah?”
“Bicara padanya.”
“Apakah bicara padanya melibatkan proses membujuk, mengiba, lalu menyembah di kakinya?”
Dia mencibir.
“Iya ya? Begitu ya caranya?”
Wajahnya memucat memikirkan kemungkinan harus memeluk kaki lelaki itu dan mengiba, memohon agar diterima kembali.
“Tidak.” Ucapnya singkat.
“Lalu bagaimana?”
“Tidak tahu, aku belum pikirkan.”
“Kenapa juga sih kamu ingin kembali?”
“He’s the best thing ever came to my love life, okay? He’s the best kiss I’ve ever had. He’s the closest thing to a real relationship.”
“Ah, your real relationship is shit.”
“You don’t have to remind me.”
“Hmm, oke. Jadi kamu pengen balik karena ciumannya, ya?”
Dia mendelik.
“Nggak cuma itu. I love the way he holds me.” Ujarnya dengan mata mengawang-awang seperti sedang membayangkan peristiwa itu sedang terjadi.
“Does it comfort you?”
“Ummm, actually? No. But I like the way he cuddling me.”
“No? Why?”
“I don’t know. It was just something. Something wrong. Something not in its place.”
“What do you mean?”
“I don’t know what I mean. Why you ask?” dia bertanya dengan suara meninggi.
“Okay, okay. You’re grumpy old woman.”
“I’m not an old woman. I’m twenty five.”
“ I know that.”
“Who acts like seventeen,” tambahnya sambil jatuh tepekur. “Kenapa sih kami harus putus? I put my hope high on him. He’s gonna be the man I’d sleep with every day.”
“Why did you still not get the point?”
“What point?”
“Stop complaining. Focus on your next move. He’s not for you. He’s not that in to you. You throw him out after he knocked you down. You get hurt, then you refuse to feel hurt because of him anymore, and bum. He’s gone now.”
“He’s gone and then you came, you bitch!”
“I am a bitch. You should learn from me.”
“Seriously. You’re so annoying. I don’t need you to help me out of this situation. I can handle this myself.”
“You don’t seems you are,” ujarku. Dia menghentikan semua kegiatannya dan mengalihkan perhatian sepenuhnya padaku.
“I will,”
“Ya udah. Terserah kamu. Cuma aku males aja klo harus liat kamu nangis-nangis lagi. Ga penting, tau!”
“I love him,” katanya keukeuh.
“I know.”
“You have no idea how does it felt,”
“Sok tahu. I was there when you’re kiss. In fact, I’m the one who kiss him. Hahaha,” kataku jumawa. Dia jelek sekali kalau cemberut.
“Siaaaaal!” Teriaknya sambil melemparku dengan guling. Aku tak sempat mengelak dan menghilang dari pandangannya.

Tiga
Aku langsung mencarinya begitu masuk kamar. Aku bahkan tak sempat membuka sepatu boot Zara yang kukenakan dan langsung berjalan menuju cermin, menginjak karpet tebal dengan sol sepatuku.
“Hey…bitch! Where are youuuu?’ teriakku. Tiba-tiba aku merasakan kebutuhan mendesak untuk berbicara dengan perempuan berkuteks merah yang senang menggangguku itu. Perempuan itu tak muncul. Sebagai gantinya, di hadapanku, berdiri pantulan wajahku. Tampak lelah, tetapi berseri-seri. Ada rona merah di pipi.
Aku tersenyum pada bayanganku. Dia balas tersenyum.
“Ah, sebaiknya aku mandi,” gumamku sambil melepaskan satu-satu benda-benda yang melekat di tubuhku.

Empat
Sudah lama aku tidak mendatangi gadis patah hati yang baru putus itu. Sepertinya dia sudah tidak membutuhkanku lagi. Maka saat aku kembali muncul di hadapannya, aku agak terkejut karena dia sangat berubah. Tak ada lagi mata sembab karena kebanyakan menangis, tak ada lagi muka yang ditekuk. Bahkan, kini kukunya pun berkuteks. Tidak merah sih, tapi ya … berkuteks! Hahaha.

Dia menghadapiku dengan tenang, tidak dengan kebencian seperti sebelumnya. Dan sepertinya, dia memang menanti-nanti kedatanganku.
“Kamu kemana aja?”
“Ada,” jawabku standar.
“Aku mau cerita,”
“Tumben,”
Dia menyeringai seperti kucing Cheshire. “Hihi, malu,” ujarnya. Ah, minta ditoyor nih.
“Kenapa, kamu balikan lagi sama mantan pacar kamu itu?”
Dia hanya senyum-senyum sok misterius.
“Aku baca cerpen.” Akunya.
“Memangnya kenapa kalau kamu baca cerpen?”
“Cerpen itu memberiku inspirasi,”
“Inspirasi untuk apa?”
“Untuk mengajak seseorang bermuak-muakan,”
“Hah? Maksudnya?”
“Jadi begini, penulis cerpen itu bilang, dia juga sebenarnya terinspirasi dari salah satu episode Gossip Girl, ‘Let’s Get Sick of Each Other’.”
“Jadi?”
“Jadi aku mengikuti apa yang ada di cerpen itu. Aku mengajak seseorang, a particular stranger, to get sick of each other for a couple days,”
“Dia mau?”
“I took a break for a while from office, lalu pergi ke Bali bersamanya,”
“Siapa dia?”
“Only a stranger,”
“Lalu?”
“We get sick of each other! Hahahaha. Then I found myself back. My truly me, aku tanpa embel-embel apa-apa. Bukan aku yang pacarnya Gilang. Eh lupa, aku sama Gilang udah putus, ya? Hahaha,”
“Jadi kamu melupakan Gilang begitu saja dan jatuh cinta sama si orang asing ini?”
“Enggak kayak gitu juga sih, aku jadi mengikhlaskan Gilang. Aku ga menye-menye lagi kepingin dia balik.”
“So you get a new kiss?”
“Hahaha,”
“Lalu bagaimana dengan si orang asing ini? Apa yang terjadi di Bali?”
“Nothing, we just get sick of each other, we promise not to seeing each other again.”
“Really?”
“Yes, I will find someone, someone who’s not a stranger. Someone Mr. Right.”
“Congrats, then, I guess you wont need me anymore,” ujarku, tiba-tiba merasa sedih karena harus meninggalkannya.
“Why? Kamu masih boleh berkunjung ke sini kok kapan-kapan,”
“Kenapa? You’re blend with me now. You’re the same bitch with me now,”
Dia tertawa, tampak lepas. Lalu aku pergi, mencari gadis patah hati lain yang butuh bantuan.

From: Kompas.com

Posted by capunx on 7:23 PM. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "Cermin"

Leave a reply

Blog Archive

Labels

Recently Added

Recently Commented