Renungan Tentang Kemerdekaan

Kita selalu memikirkan proklamasi dengan renungan beratnya jaman penjajahan. Orang orang Belanda dan Jepang adalah musuh yang yang harus dibasmi habis. Bahkan ketika malam menjelang pagi tanggal 17 Agustus 1945. Para golongan muda masih mencari musuh bersama, yakni golongan tua yang dianggap sebagai kaki tangan Jepang. Padahal tujuannya sama sama mulia. Ingin secepatnya memerdekan Indonesia.

Sejak awal para golongan muda sudah merasa Soekarno, Hatta dan golongan tua lainnya sebagai pengecut, tidak percaya diri karena masih tergantung dengan panitia persiapan kemerdekaan bentukan Jepang. Lihat saja teks proklamasi versi Sukarni yang mewakili golongan muda “ Bahwa dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Segala badan badan Pemerintah yang ada harus direbut oleh rakyat, dari orang orang asing yang masih mempertahankannya “.

Isi teks ini tentu saja tidak memuaskan Soekarno – Hatta yang khawatir jika Jepang akan menghantam rakyat habis habisan. Adu urat leher menjelang sahur, akhirnya mencapai kesepakatan. Sayuti Malik mengetik naskah proklamasi tersebut. “ Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal hal yang mengenai perpindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya “.

Tepat pukul 4 dini hari, Soekarno membacakan naskah ini di hadapan peserta sidang dengan tempo yang perlahan, agar semua bisa menangkap kata demi kata sampai habis. Lagi lagi Sukarni mendebatnya. Ia mengatakan teks ini lemah, tidak revolusiner dan tidak memiliki kepercayaan diri sendiri, untuk lepas dari kekuasaan Jepang. Namun golongan tua yang lebih rasional dan mengutamakan keamanan diatas segalanya mempertahankan teks proklamasi yang sudah jadi.

Sekarang dengan segala pencapaian bangsa ini. Kita sesungguhnya tidak pernah percaya diri. Musuh penjajah telah tiada. Tetapi manusia selalu memerlukan musuh. Tanpa musuh hidup terasa hambar dan tak ada gairah.
Jadilah di time line kita menemukan musuh musuh. Tiba tiba saya sadar betapa nyinyir-nya saya. Dengan mudah kita memilih siapa yang akan kita caci maki. Fauzi Bowo, adalah musuh bagi mereka yang mendambakan bisa memacu mobilnya 50 km perjam di jalanan Jakarta. Kita menciptakan musuh lainnya. Arab arab yang telah memperkosa dan memukuli wanita wanita desa yang rela menjadi babu disana. Kita bukan menyalahkan kenapa negeri ini tidak bisa memberi hidup yang layak. Sehingga para wanita itu rela meninggalkan suami dan anaknya demi segepok real dan dollar.

Ada juga yang memiliki musuh abadi. Amerika dengan segala macam produk baratnya yang mengancam identitas budaya dan moral bangsa. Lucunya mereka juga berburu kuis kuis berhadiah Ipad. Jadi kalau sekarang kita masih takut pengaruh, takut dengan dampak barat artinya kita masih belum menjadi diri kita sendiri. Masih trauma dengan mimpi buruk penjajahan. Padahal kita telah merdeka.

Kita juga memiliki musuh musuh baru. Gambar gambar brengsek tentang institusi lembaga negara. DPR yang korup, juga polisi yang pilih kasih. Walau tidak semua anggota DPR seperti Nazarudin. Juga tidak semua korps Bhayangkara seperti perwira perwira Polisi yang menerima sogokan motor Harley Davidson.

Ini mungkin gejala kita tidak pernah percaya diri. Mungkin tidak bisa disalahkan, keran akumulasi kekecewaan yang mendalam. Namun kita lupa musuh sesungguhnya adalah kebodohan dan kemiskinan. Kita membiarkan bangsa kita bodoh sehingga tak bisa membedakan mana emas atau loyang ketika masa pemilihan umum. Kita juga diam diam masih berusaha menyogok 50 ribu kepada Polisi, daripada repot repot menghadiri sidang di pengadilan. Kita juga lebih senang dengan proses instant. Misalnya mengumpulkan sekian milyar untuk sumbangan TKI yang diancam hukuman mati, daripada menggunakan proses advokasi atau hubungan antar Pemerintahan. Bayangkan kita masih memiliki ratusan TKI yang masih antri di penjara Arab menunggu putusan.

Sudah saatnya kita kembali ke nurani. Hati nurani kita memang tidak mengajarkan untuk tidak semata mengejar kenikmatan duniawi, tetapi juga bukan mencari musuh yang tidak perlu. Kesederhanaan adalah ciri orang orang merdeka. Yang tak perlu menjadi center of universe atas nama kemanusiaan. Menjadi dirinya sendiri, tanpa pamrih harus gembar gembor atas nama kemandirian. Mandiri yang mana?

dibawah bendera revolusiKita tak pernah bisa memperbaiki sistem yang bobrok tanpa aksi. Kebanyakan nyinyir tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam spanduk spanduk yang dibentangkan oleh Kabinet Hatta “ Untuk mencapai Demokrasi yang sempurna, berantaslah buta huruf “. Maka Bung Karno turun tangan sendiri, mengajar membaca a-u-i-e-o-b-c-d di alun alun Jogyakarta. Para Tuan dan Nyonya yang ingin jalanan lancar, tak mau berkorban untuk sekali waktu memarkir mobilnya di garasi saja, dan mencoba metromini yang sumpek atau bus way.

Subuh 66 tahun yang lalu, sebelum pulang ke rumah masing masing, Soekarno dan Hatta menyelesaikan pekerjaan besarnya dengan menikmati sahur berdua di dapur rumah Laksamana Maeda. Suhu badan Soekarno masih tinggi karena demam yang belum sembuh. Mereka duduk sendiri tanpa bercakap cakap. Terlalu lelah hari itu. Namun jalan pikiran mereka tetap menerawang. Bertanya tanya, siapa musuh musuh kemerdekaan kelak. Sampai hari ini kita masih terbata-bata menjawab pertanyaan mereka.

11:19 AM | Posted in , | Read More »

Bocah Misterius Yang Mengaku Berasal dari Mars

Bocah Yang Mengaku Dari Mars, Belum lama ini, pesawat penjelajah antariksa Amerika dan Eropa secara berturut-turut berhasil mendarat di Mars, tujuannya adalah hendak mencari tanda-tanda kehidupan di planet itu.

Menurut laporan Truth Report Rusia pada tanggal 12 Maret 2004, disebutkan bahwa seorang anak lelaki berusia 7 tahun di kawasan utara Rusia mengaku dirinya berasal dari Mars, bahkan memiliki bakat bawaan yang menakjubkan dan kepandaian yang luar biasa. Borischa, demikian nama bocah dari planet lain itu melakukan perjalanan yang jauh dan sulit hingga tiba di kawasan yang penuh dengan misteri itu.

Harian itu melaporkan, bahwa seorang saksi mata mengatakan, saat itu di suatu malam yang hening, orang-orang yang berkemah duduk di hadapan api unggun berbincang-bincang. Tiba-tiba, Borischa berdiri membungkukkan badan, dengan suara nyaring membangkitkan perhatian setiap orang, semua orang dengan perasaan tertarik memandanginya. Saksi mata mengatakan: "Ternyata, ia bermaksud memberitahu kepada mereka tentang kehidupan penduduk di planet Mars, serta pengalaman legendaris mereka terbang menuju bumi." Dalam sekejap itu, lokasi api unggun tenggelam dalam kesunyian.

Dan yang lebih fantastis lagi adalah, bocah laki-laki ini bahkan secara hidup menceritakan tentang daratan misterius Limoliya yang tenggelam di dasar laut dalam legenda kuno manusia. Dan menurut penuturan bocah laki-laki ini, ketika ia tiba di bumi dari planet Mars persis mendarat di sana, dan memahami sekali kehidupan di sana.

Banyak orang secara mengejutkan menemukan, bahwa bocah laki-laki misterius ini sedikitnya memiliki 2 ciri khas. Pertama, Borischa memiliki pengetahuan yang luar biasa, inteligensinya jelas lebih tinggi levelnya daripada seorang bocah biasa sebayanya. Limoliya adalah negeri misterius dalam legenda minimal 800 ribu tahun silam, jangankan anak-anak, bahkan profesor universitas pun mustahil semuanya bisa tahu, dan ia secara terperinci dan dengan paham sekali menceritakan sejarah, kebudayaan dan penduduk negeri yang kuno ini. Dan ciri khas kedua yang menimbulkan perhatian adalah, bocah laki-laki ini memiliki kemampuan penyampaian dengan bahasa yang membuat orang kagum. Ia menguasai berbagai macam istilah kejuruan, memahami data-data dengan tepat dan cermat, bahkan mengetahui secara jelas tentang sejarah bumi dan planet Mars.

Seorang saksi mata mengatakan, "Manurut saya, ketika bocah ini membicarakan memori pribadi dari kehidupan terdahulu pada kami, bukan bicara sembarangan dan tidak berdasar."

Menurut laporan, Borischa yang misterius lahir di sebuah rumah sakit di pedesaan terpencil di kota kecil Rusia pada tanggal 11 Januari 1996. Secara permukaan terlihat orang tuanya cukup bersahaja, lugu dan baik hati. Ibunya, Nadezhda adalah orang baik, seorang dokter kulit di sebuah rumah sakit umum. Sedangkan ayah sang bocah adalah seorang pensiunan perwira tentara.

Nadezhda mengenang, setelah 15 hari kelahiran, Borischa sudah bisa menengadahkan kepalanya. Namun, yang menakjubkan adalah ketika ia berusia 1,5 tahun sudah bisa membaca dan memahami judul berita yang ada di koran. Dan 2 tahun kemudian, Borischa memiliki daya ingat yang luar biasa, serta kemampuan menguasai pengetahuan baru yang sulit dipercaya. Kemudian, dengan cepat orang tuanya mengetahui, bahwa anak mereka dengan suatu cara yang unik --dari suatu tempat yang misterius-- mendapatkan informasi.

Nadezhda mengenang kembali dan mengatakan: "Tidak pernah ada orang yang mengajarinya tentang hal-hal itu, namun kadang kala ia melipat kaki dan duduk menyilang, bicara dengan tenang dan penuh keyakinan akan hal-hal yang merawak rambang. Ia suka bicara tentang planet Mars, sistem planet, dan peradaban yang sangat jauh sekali. Kami benar-benar tidak berani percaya dengan pendengaran kami. Sejak usia 2 tahun, setiap hari ia seperti membaca kitab suci membicarakan tentang alam semesta, dan kisah dunia lainnya yang tak terhitung banyaknya juga tentang angkasa yang tiada batasnya."

Sejak saat itulah, Borischa terus berkata pada orang tuanya, bahwa dulu ia tinggal di planet Mars. Ketika itu, ada sejenis manusia tinggal di planet Mars, oleh karena terjadi sebuah bencana dahsyat yang mematikan, lapisan atmosfer di atas planet Mars lenyap total, sehingga penduduk di atas planet Mars itu terpaksa harus hidup di kota bawah tanah. Dan sejak itu, ia sering keluar berdagang dan berkunjung ke bumi dengan tujuan mengadakan penelitian, lagi pula ia hanya seorang diri mengendarai pesawat antariksa.

Menurut penuturan Borischa, bahwa semua ini terjadi pada masa makmur peradaban Limoliya. Waktu itu, ia memiliki seorang sahabat karib di Limoliya, namun temannya ini tewas di hadapannya. Borischa mengenang kembali dan mengatakan: "Waktu itu, di atas bumi telah terjadi suatu bencana dahsyat, sebuah daratan yang mahabesar bagaikan ditelan oleh hujan badai laut. Tiba-tiba, sebuah batu raksasa menghantam sebuah bangunan, dan secara kebetulan teman saya berada di sana, saya sama sekali tidak sempat menyelamatkannya." Dengan hidup bocah laki-laki ini menceritakan seluruh pemandangan hilangnya Limoliya, bagaikan baru terjadi kemarin.

Borischa mengatakan, bahwa pesawat ulang-alik mereka, hampir dalam sekejap telah rampung dalam suatu perjalanan sejak tinggal landas dari planet Mars hingga mendarat di bumi. Bersama itu, ia mengeluarkan sebatang kapur tulis dan melukis sebuah benda yang berbentuk bulat di atas papan tulis. Ia mengatakan: "Pesawat ruang angkasa kami dibentuk dari 6 lapisan, lapisan luar mendominasi 25%, dibuat dari metal yang kokoh. Lapisan ke-2 mendominasi 30%, dibuat dari bahan yang menyerupai karet. Lapisan ke-3 mendominasi 30%, juga terbuat dari metalc dan lapisan terakhir hanya mendominasi 4%, dibuat dari bahan magnetisme khusus. Jika kami mengisi penuh energi pada lapisan magnetisme ini, maka pesawat ruang angkasa bisa terbang menuju ke mana pun di alam semesta ini."

Dengan agak serius Borischa juga memrediksi dan mengatakan, bahwa pada tahun 2009 akan terjadi bencana besar yang pertama kalinya di sebuah daratan di atas bumi, dan bencana kedua kalinya yang lebih menghancurkan lagi akan terjadi pada tahun 2013

Sumber: blogger

3:49 AM | Posted in , | Read More »

8 Kebiasaan Cewek Ketika Pacaran

1. Ingin Mengubah Sifat dan Kebiasaan Cowok

Cewek yang selalu maunya mengubah cowoknya adalah cewek yang bawel, cerewet, banyak bacot, dan full of crap. Kebiasaan yang dalam bahasa Inggrisnya disebut “nagging” ini pada akhirnya akan mengurangi daya tarik kamu secara drastis. Maka dari itu, kalau kamu mau cowok yang rapi, cari cowok yang rapi. Kalau mau cowok yang bersih, cari cowok yang bersih! Kalau mau yang kaya, cari yang kaya! Kalau mau cowok yang nurut, cari yang nurut.

2. Menomorduakan Cowok

Cowok mana sih yang mau aja dinomorduakan, dinomortigakan, atau diberi prioritas yang lebih rendah lagi dalam dunia seorang cewek? Jawabannya hanya ada satu. Cowok lossy! Pada dasarnya cowok memilih lebih baik dia mencari cewek lain lagi di mana dia selalu menjadi nomor satu.

3. Ngambek Tujuh Hari & Tujuh Malam

Kamu pikir cowok suka sama cewek yang sekali marah bisa ngambek tujuh hari dan tujuh malam? Misalnya saya yang jadi cowoknya sih, kalau kamu mau begitu ya terserah. Mendingan selama kamu lagi ngambek, saya cari cadangan pengganti kamu. Kecuali pacar kamu adalah seorang cowok lossy, salah salah begitu ngambek kamu hilang, kesabaran dia pun udah hilang.

4. Menuntut Cowok untuk Membaca Pikiran Cewek

Kalau cowok salah beli hadiah ulang tahun kamu, kamu bilang dia nggak memperhatikan kesukaan kamu. Kalau dia pilih pergi sama temannya gara gara kamu bilang terserah dia mau ke mana, kamu bilang dia lebih mementingkan temannya.Kalau dia ajak kamu makan di restoran yang salah, kamu bilang dia nggak tau makanan kesukaan kamu. Kalau dia berkeras traktir kamu melulu, kamu bilang dia ada maunya. Cewek sering protes kalau cowoknya nggak punya ide, tapi cewek sendiri kalau punya ide nggak mau bilang terang terangan. Mungkin cowok dan cewek nggak jauh berbeda, tapi paling nggak, cowok umumnya nggak ngambek kalau ceweknya salah menebak keinginannya. Karena itu ya cewek cewek, jangan harapkan cowok
kamu untuk bisa membaca pikiran kamu. Kemungkinan besar mereka nggak akan pernah bisa!

5. Menyebut Kekurangan Cowoknya di Depan Umum

Cowok yang mau dipermalukan oleh ceweknya di depan umum adalah cowok lossy, dan itu udah nggak ada tawar menawar lagi. Kalau cowok kamu kabur gara gara ini, mungkin kamu perlu pasang rem yang pakem di mulut kamu. Yang perlu kamu jaga adalah hal hal yang sifatnya pribadi. Kalau kamu merasa bahwa kamu sering mempermalukan cowok kamu di depan umum, mungkin ini pertanda tidak puasnya kamu terhadap hubungan kamu berdua. Coba kamu pikir baikbaik dan analisa apa yang kurang, daripada hanya bisa buka mulut dan nggak mengerjakan apa apa.

6. Berpandangan Bahwa Cowok Harus Selalu Membayar

Hanya ada satu situasi di mana cewek sama sekali nggak keberatan membayar: kalau untuk keperluannya sendiri. Apakah kamu cewek yang seperti ini? Kalau kamu jawab iya, artinya kamu adalah seorang gold digger. Kalau cewek mau disejajarkan dengan cowok, kenapa nggak traktir cowok sesering cowok traktir cewek? Kenapa cowok harus membayar melulu? Hubungan percintaan yang benar adalag saling memberi dan menerima dan bukan menerima terus atau memberi terus.

7. Terlalu Mementingkan Teman Teman

Cewek sesekali boleh mementingkan kepentingan sobat sobat cewek Anda tapi jika kamu sebagai cewek terus atau sering berperilaku seperti ini maka jangan salah jika cowok anda meninggalkan anda.

8. Harus Diperlakukan Seperti Ratu Agung

Kalau kamu maunya diperlakukan seperti ratu agung terus menerus, artinya kamu adalah cewek yang maunya menerima melulu dan jarang mau memberi. Mengapa cewek menuntut untuk disamakan dengan cowok dan secara bersamaan juga minta ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi seperti ratu agung? Mana konsistensinya? Inilah bukti di mana cewek tipe ini hanya mau enaknya saja. Kalau kamu cewek yang selalu minta diperlakukan seperti ratu agung, mungkin kamu perlu segera mulai memperlakukan cowok kamu seperti
raja agung sebelum dia kabur.

3:42 AM | Posted in | Read More »

Ucapan Selamat Idul Fitri 1432 H



Bila kata merangkai dusta..
Bila langkah membekas lara...
Bila hati penuh prasangka...
Dan bila ada langkah yang menoreh luka.
Mohon bukakan pintu maaf...
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin

---

Waktu mengalir bagaikan air
Ramadhan suci akan berakhir
Tuk salah yg pernah ada
Tuk khilaf yg sempat terucap
Pintu maaf selalu kuharap
Met Idul Fitri

---

Faith makes all things possible.Hope makes all things work.
Love makes all things beautiful.
May you have all of the three.
Happy Iedul Fitri.

---

Melati semerbak harum mewangi
Sebagai penghias di hari fitri
SMS ini hadir pengganti diri
Ulurkan tangan silaturahmi.
Selamat Idul Fitri

---

Andai jemari tak sempat berjabat.
Jika raga tak bisa bersua.
Bila ada kata membekas luka.
Semoga pintu maaf masih terbuka.
Selamat Idul Fitri

---

Gadis menyulam diatas kain
seindah bunga dlm jambangan.
Walo hanya sms yg sy kirim
serasa qt brjabat tangan.
MinalAidzinWalFaidzin.
Mhn maaf lahir&batin ya.

---

Bila da lngkah mmbekas lara.
da kt mnusuk sukma.
da tingkah mnoreh luka.
Mhn dmaafkn sgl kekhilafn.
MinalAidzin WalFaidzin.
MhnMaafLhr & Btn

---

Waktu mengalir bagaikan air Ramadhan suci akan berakhir Tuk salah yg pernah Tuk khilaf yg sempat terucap Pintu maaf selalu kuharap Met Idul Fitri

---

MTV bilang kalo mo minta maap g ush nunggu lebaran, Org bijak blg kerennya kalo mnt maap duluan, Ust. Jefri blg org cakep mnt maap gk prl blg, Org jujur ga perlu malu utk minta maap, Jd krn mrs sbg anak nongkrong yg jujur, keren cakep dan baek ya gw ngucapin minal aidzin wal faizin , mohon maaf lahir dan batin

---

Seiring cahaya rahmat bulan Syawal,kuberi maafku setulus lahirmu dan kupinta maafmu sedalam batinku. Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1432H Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.

---

Keindahan ramadhan tetap bersinar seiring datangnya hari yang fitri. 
Selamat Idul Fitri 1432H Minal aidin wal faizin. 
Mohon maaf lahir dan batin terucap setulus hati untukmu sahabat.

---

Salah kata pernah terucap, salah sikap pernah terungkap, kembali fitrah selalu di harap 
Selamat Idul Fitri 1432H, Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.

---

Sayup terdengar takbir berkumandang
Tanda Ramadhan akan lewat
Ampunan diharap, barokah didapat
Taqobalallahu minna wa minkum
Mohon maaf lahir dan bathin

---

Ketupat udah dipotong
Opor udah dibikin
Nastar udah dimeja
Kacang udah digaremin
Gak afdhol kalo gak Minal Aidin wal Faizin
Taqobalallahu minna wa minkum

---

Orang yang paling mulia adalah
Orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain
Bersihkan diri, sucikan hati Di hari yang Fitri ini.

---

3:18 AM | Posted in , | Read More »

Kumpulan Puisi Selamat Hari Raya Idul Fitri


Langit lebaran telah dibentangkan
bumi lebaran telah dihamparkan
kudoakan hatimu seluas langit dan bumi
cukup untuk menampung dan mengampuni
semua tindakanku padamu yang menyakiti

Idul fitri telah menghampiri
para pecinta Tuhan sejati
yang sebulan memberi bukti
dengan amalan tanda berbakti
pada Ilahi yang Mahasuci
Mohon dirimu sudi melengkapi
dengan mengampuni segala salah
yang kuperbuat selama ini

Seiring terbitnya matahari pagi
mohon dirimu sudi mengampuni
dosa-dosaku yang telah mengotori
hubungan kita selama ini

Di hari lebaran
mengemis kemurahan Tuhan
agar kita dikaruniai cinta sejati
bukan cinta basa-basi
hanya dimulut dan dalam hati
tanpa bukti berbakti pada Ilahi

Perjalanan panjang
di Bulan Ramadhan
tempat cinta dibuktikan
dengan amal perbuatan
Semoga membuat kita
berhak menjadi kekasih Tuhan

Lebaran kita berjabat tangan
untuk saling memaafkan
segala salah dan kekhilafan
Semoga segala amal perbuatan
selama bulan Ramadhan
dicatat sebagai pemberat timbangan
amal kebaikan untuk hari kemudian.

Idul fitri kita saling memaafkan
segala kesalahan mohon dihapuskan
Kita jalani hari baru tempuh masa depan
dengan hati murni setelah puasa sebulan.

Bolehlah kita mengaku pecinta Tuhan
asal terbukti dalam amal perbuatan
bukan sekedar di lisan dan alam pikiran
Selamat hari lebaran
segala kesalahan mohon dimaafkan
kita mulai hari baru raih masa depan.

Cinta pada Tuhan telah kita buktikan
dengan amalan selama Ramadhan.
Karena cinta hanya di lisan
atau cinta hanya di hati dan perasaan
tanpa didukung amal perbuatan
yang sesuai perintah Al Quran
tak lebih dari cinta dalam angan-angan

Puasa sebulan tempat menyadarkan manusia
bahwa cinta dan merasa dekat dengan-Nya
hanyalah fatamorgana yang membuat terlena
bila tidak terbukti dalam amal nyata
sesuai perintah dalam kitab suci-Nya

Lebaran adalah hari kemenangan
Ramadhan ajang membuktikan
cinta kita pada Tuhan sekedar khayalan
atau cinta sebenar-benar orang beriman
dari amal-amalan selama sebulan.

Lebaran telah tiba
setelah sebulan kita membuktikan
cinta pada Tuhan dengan amalan
berupa sedekah dan shalat malam,
bukan sekedar mengingat nama Tuhan.

Kalau cinta hanya di lisan
Kalau cinta hanya kata-kata menawan
tanpa didukung amal-perbuatan
apalagi berani menentang kebenaran Al Quran
Pantaskah berlebaran
merayakan hari kemenangan

Kita tahu cinta bukan hanya di hati
Karena Tuhan menuntut bukti
dengan waktu malam dan harta pribadi
tidak sayang kita persembahkan buat Ilahi
Semoga di hari fitri ini amal kita menjadi saksi
bahwa cinta kita bukan sekedar wacana dalam hati

Kalau cinta hanya dengan menyebut nama Ilahi
dan mengingat keberadaan-Nya dalam hati
tapi tak peduli firman-firman dalam ayat suci
tapi tak pernah mengikuti sunnah nabi
maka cinta seperti itu bukanlah cinta sejati
yang layak dipersembahkan pada Sang Mahatinggi.
Semoga lebaran hadirkan kesadaran
bahwa cinta kita perlu dibuktikan
dengan amal perbuatan sesuai Al Quran.

Para pengajar kesesatan
ajak tinggalkan Al Quran dan kebenaran
hanya demi dogma-dogma kebebasan
Selamat hari lebaran
segala salah mohon dimaafkan
semoga puasa sebulan
membawa kita mencintai kebenaran

Agama kebebasan meninggalkan ajaran Tuhan
membuat para pengikutnya kebingungan
karena kehilangan Al Quran pegangan kebenaran
Selamat hari lebaran
Segala salah mohon dimaafkan

Ketika orang sesat sedang kebingungan
habiskan waktu untuk melakukan pencarian
dan berunding untuk menentukan kebenaran
Orang yang berpegang teguh pada Al Quran
sibuk beramal dan memajukan ilmu pengetahuan
karena kebenaran telah ditunjukkan Tuhan.
Selamat hari Lebaran
Segala salah mohon dimaafkan
Semoga kita terhindar dari kesesatan.

Orang beriman tak perlu lakukan pencarian
Karena jalan kebenaran telah ditunjukkan Tuhan
pada orang-orang beriman lewat Al Quran
Manusia tinggal mengikuti pedoman jalan
agar meraih sebenar-benar kebahagiaan.
Semoga di hari lebaran
kita makin teguh menempuh jalan kebenaran.

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

2:40 AM | Posted in , , | Read More »

Jodoh

Rasanya aku mengerti apa yang dipikirkan oleh Veronika  saat dia berniat untuk mengakhiri hidupnya. Atau mungkin juga tidak. Tetapi apa yang menghinggapi kepalaku saat ini, kurang lebih sama dengan apa yang ada di kepala pustakawan berusia dua puluh empat tahun itu ketika dia menelan pil-pil tidur kemudian menunggu kedatangan malaikat maut sambil dengan santai membaca artikel tentang Slovenia dalam sebuah majalah bulanan berbahasa Perancis.

Tetapi aku tidak menenggak pil tidur sambil membaca majalah. Malah, aku masih bingung menimbang-nimbang dengan cara apa aku akan menjemput kematianku. Kurasa sangatlah menarik jika kita bisa memilih bagaimana kita mati, pada saat yang bisa kita tentukan sendiri.

Kira-kira, apakah aku akan memilih cara maskulin dan kasar dan berdarah-darah dengan melompat dari ketinggian 23 lantai tempatku bekerja? Ataukah menabrakkan diri ke depan sebuah truk yang melaju kencang? Memenggal leherku sendiri dengan pisau cutter, melibatkan diri dalam bentrokan massal dan mengorbankan diri untuk lebih banyak dipukuli dan ditendangi? Yang terakhir itu pasti bisa dilakukan, mengingat begitu banyaknya tawuran dan unjuk rasa berdarah yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.

Atau, apakah akan kulakukan dengan cara lembut dan feminin seperti yang dilakukan Veronika? Menikmati obat nyamuk cair yang dicampur dengan mint sahi favoritku, menelan dosis berlebih obat-obat berbahaya dan kadaluarsa? Mengerat pergelangan tangan dengan silet perapi bulu ketiak? Menenggelamkan diri di bath tub?
Belum. Aku belum memutuskan.

Apakah kematian itu sakit? Mereka bilang iya. Namun aku tak tahu, karena aku tak mengenal siapa pun yang kembali dari kematian.

Pada ulang tahun keduapuluhdelapanku yang soliter dan sepi, sebuah pemikiran bersayap muncul dalam kontemplasi malamku. Aku merasa telah cukup. Hidupku tidak bisa lebih berarti lagi dari sekarang. Aku harus berhenti. Aku lelah, dan aku tak ingin hidup lebih lama lagi.

Jika kalian berpikir aku sedang patah hati, kalian salah. Tidak ada pria yang bisa kutangisi saat ini. Aku sendirian. Lajang, cantik, menarik, berada di puncak kematangan, bahagia.  Bahagia? Apakah kebahagiaan itu? Lex Luthor dalam drama seri Smallvile pernah berkata pada Chloe; Kebahagiaan adalah makhluk yang sukar dimengerti. Kita semua mengharapkannya, namun hanya sedikit yang bisa menemukannya. Apakah kebahagiaan yang kurasakan ini hanyalah ilusi? Semu.

Bahagia yang sudah tercemplung dalam zona nyaman sehingga aku lupa bagaimana rasanya. Aku tahu ini bernama bahagia, namun tidak ada rasa lain sebagai pembanding. Mengapa bahagia ini terasa hampa? Apakah sebenarnya aku tengah membohongi diriku sendiri?

Kebetulan saja jika kebosananku ini mirip dengan apa yang dirasakan Veronika. Tak ada niat sedikit pun untuk menjadikan gadis fiktif ciptaan Paulo Coelho itu panutanku hingga aku mengikuti jejaknya bunuh diri. Tetapi, itulah yang berputar-putar riuh di atasku, mencengkeramku seperti tentakel-tentakel gurita. Hidupku terlalu biasa, seolah-olah aku mengulangi kehidupan milik orang lain yang sudah mati.

Tidak ada yang istimewa yang datang kepadaku. Semua ini tak lagi menarik untuk dijalani. Jadi daripada aku buang-buang waktu dan biaya untuk menjalani kehidupan yang biasa-biasa ini, lebih baik aku mati. Biarkan sumber daya alam dimanfatkan oleh orang ambisius yang optimistik. Waktuku telah saatnya diakhiri.

Hidupku bergerak mekanis dengan ritual-ritual monoton yang lama-kelamaan membakar kepalaku pelahan. Aku membayangkan diriku berada dalam sebuah scene film. Saat tokoh utamanya sendirian dan berpikir, tetapi tanpa musik pengiring seperti dalam film. Saat kau tercerap tengelam masuk dalam dirimu sendiri, suara latar adalah bising lalu lintas, derungan mesin kopaja, teriakan pedagang asongan, suara pengamen mengiris-iris telingamu, decitan rem, suara timer menyuruh calon penumpang masuk kopaja tertentu. Suara dentingan sendok dan gelas. Dering telepon genggam. Pemantik api. Sedotan plastik saat menusuk penutup minuman dalam gelas.

Saat kau ingin hening, atau mendengarkan bebunyian yang beradab dari alat musik tertentu, semua suara dunia normallah yang bertubrukan menggetarkan organ korti dalam gendang telingamu.

Semua ritual itu kujalani. Begitu lepas kilatnya waktu melesat, tak ada waktu untuk mengeluh, untuk membanding-bandingkan dengan dunia ideal. Kau dituntut untuk secepat superhero, mengejar sesuatu dengan sangat, tapi malah lupa sedang mengejar apa.
Aku sudah tidak cocok dengan semua kekacauan ini.

Dan karena aku tak dapat menghentikan atau memperlambat dunia, maka aku saja yang akan berhenti. Aku membenci segala sesuatu yang tak dapat kukendalikan. Aku tak suka harus mengenakan topeng setiap saat, mengikis sedikit demi sedikit diriku untuk menyenangkan orang lain. Hanya agar mereka tak menganggapmu bukan bagian dari mereka. Hanya agar kau tak sendiri.

Padahal kenyataannya aku memang sendirian. Aku hanya mencegah mereka mengirimku ke rumah sakit jiwa.

Bagaimana rasanya berada di rumah sakit jiwa? Aku tak ingin tinggal di rumah sakit jiwa. Karena aku tidak gila. Tetapi mengapa rasanya cara berpikirku kini semakin kacau balau seolah-olah memang sudah selayaknya aku tinggal di rumah sakit jiwa?
Aku takut memperlihatkan wujud asliku. Aku takut manusia-manusia di sekitarku menyebar menjauh, menatapku seperti wabah. Aku takut aku akan takut menatap jelmaanku di cermin. Aku takut menjadi gila. Aku takut dianggap tak lazim. Aku takut ditanya dan tak dapat menjawab. Bukan karena aku tak punya jawabannya, tetapi karena aku takut pada efek dari jawaban itu.

Aku bosan berpura-pura. Bermanis-manis. Menjilat. Menyetujui sesuatu yang bertentangan dengan keyakinanku. Munafik.

Tapi itu cara bertahan hidup, dengan menyebar kebohongan, membuat muka palsu, atau menempelkan hidung palsu berwarna merah. Lihat, aku badut yang tersenyum.
Maka aku ingin mati.
Dengan cara apa,
Itu yang sedang aku cari. Mungkin sebentar lagi aku akan tahu.

***

Lantai 13 masih gulita saat aku tiba pagi itu. Cahaya tak datang ke daerah dekat lift karena tak ada jendela di situ. Aku baru bisa melihat saat membuka pintu masuk. Cahaya memantulkan citra yang diserap otakku hingga diterjemahkan menjadi sebuah benda. Sinarnya lemah karena terhalang tirai, meja, dan filing cabinet. Mendekat mejaku yang di sebelah dinding kaca, cahaya semakin kuat. Matahari hangat membanjir disana.

Kunyalakan komputer. Memulai hari membosankan yang sama dengan kemarin. Manager datang, berucap selamat pagi. Sedikit berbasa-basi tentang dua manga yang kutaruh di meja – lupa kusembunyikan. Lalu berceloteh tentang hal-hal yang tak ingin kudengar. Saat ini aku hanya ingin berinteraksi dengan komputer, bukan manusia. Tetapi mulutnya terus mengalirkan kata-kata, racauan tentang akhir pekannya di sebuah cottage di pulau terpencil. Aku hanya menanggapinya sekilas demi terlihat sopan. Sebenarnya yang ingin kukatakan hanyalah : ”Tinggalkan aku sendiri!”

Lelaki itu baru pergi setelah merasa cukup menyanyah. Aku menatap punggungnya menghilang di balik filing cabinet. Apa yang akan dia pikirkan kelak jika aku mati bunuh diri?

Pesawat telepon berdering. Di ruangan yang masih hening ini, suara itu memonopoli semua bunyi. Aku mengangkatnya enggan.
“Travel Galaksi selamat pagi! Dengan Ratnasari bisa dibantu?” Suara ceriaku tak menunjukkan isi hatiku.
“Selamat pagi, Mbak. Saya ingin memesan tiket ke luar angkasa!” ujar suara itu. Dia terdengar sangat jauh, mungkin ratusan mil dari dunia nyata.
“Maaf, Mas?”
“Saya ingin memesan tiket ke Luar Angkasa!”
“Maaf Mas, kami tidak melayani perjalanan Luar Angkasa!” jawabku masih sabar.
“Saya ingin memesan tiket ke Luar Angkasa untuk dua orang!”
“Tetapi, Mas. Tidak ada yang namanya perjalanan ke Luar Angkasa. Bukankah hal-hal seperti itu hanya dilakukan oleh astronot?”
“Saya ingin memesan tiket ke Luar Angkasa untuk dua orang. Saya akan segera menikah, dan kami berencana untuk berbulan madu di luar angkasa!”
“Maaf, Mas. Saya tidak bisa menolong Mas untuk permintaan itu!” Aku menutup telepon dengan gusar.

Aku mendengus pada pesawat telepon. Orang aneh. Aku membuka program database pemesanan tiket di komputerku. Telepon berdering lagi.
“Travel Galaksi selamat pagi! Dengan Ratnasari bisa dibantu?”
“Mbak Ratnasari…Saya benar-benar minta tolong! Saya ingin memesan tiket ke Luar Angkasa!”
“Mas … travel ini hanya melayani perjalanan dalam angkasa, bukan ke luar angkasa!” jelasku.
“Tapi mbak, benar kan ini Travel Galaksi? Harusnya bisa kan, melayani perjalanan antar galaksi?”
“Mas, itu hanya namanya saja!”
“Tapi Mbak, kami benar-benar HARUS bulan madu di Luar Angkasa!”
“Mas cari travel lain saja. Maaf saya tak bisa membantu!”
“Saya sudah mencari semua travel. Mbak harapan terakhir saya!”
“Tapi saya tak dapat membantu Mas. Kami tidak melayani pemesanan tiket semacam itu!”
“Mbak…saya benar-benar minta tolong. Jika mbak menemukan travel yang bisa membawa saya ke luar angkasa, tolong hubungi saya, Radana, 08223456790!”
Orang itu gila. Itu jelas sekali.

***
Aku pulang dalam keadaan sangat lelah. Dan entah kenapa, suara lelaki yang menelepon paling pagi itu selalu terngiang dalam ingatanku. Lebih aneh lagi, aku bisa mengingat nomer teleponnya. Jika ia segila itu, mungkin ia punya ide yang cemerlang untuk bunuh diriku. Ide untuk jalan-jalan ke Luar Angkasa benar-benar menggodaku. Andai saja benar-benar ada travel yang melayani perjalanan ke Luar Angkasa. Aku bisa bunuh diri di sana, menjatuhkan diri ke ruang hampa gravitasi.

Selesai mandi, aku berbaring menatap langit-langit kamar. Di sudut arah jam dua pandangan mataku, langit-langit itu lembab dan ada rembesan air berwarna kekuningan membentuk gambar dua dimensi. Aku menatapnya lekat-lekat. Mirip seseorang tengah membungkuk menghadap sesuatu, dengan tangan terentang ke belakang memegang belati, bersiap menusuk. Aku mengucek mata, gambar itu hilang, berganti rembesan air yang tidak membentuk sesuatu yang berarti. Hanya rembesan lembab berwarna kuning.

Angka-angka bertaburan dalam ingatanku. Kombinasi sebelas angka yang disebutkan lelaki gila bernama Radana itu tepat urutannya, berbaris seperti sekumpulan prajurit perang.

Kosong. Delapan. Dua. Dua. TIga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Sembilan. Kosong.
Dengan cepat nomer-nomer itu kuketikkan lewat tombol ponselku. Kutekan tombol panggil. Nada tunggu. Satu. Dua. Tiga. Empat. Aku gelisah. Apa yang kulakukan? Menelepon orang asing seperti ini, untuk kepentingan yang abstrak pula? Aku hampir menutup telfonnya ketika ada suara yang menyahut.
“Halo?”
“Mas Radana?”
“Mbak Ratnasari?”
Dia mengenaliku!
“Mbak Ratnasari sudah dapat travel itu ya?”
“Belum…!”
“Oh bagus … saya tidak mau merepotkan Mbak Ratnasari. Saya baru saja diputuskan calon istri saya! Jadi rencana bulan madu ke luar angkasa itu dibatalkan. Mbak Ratnasari belum mencari travel itu kan?”
“Belum..!”
“Oh…!”
“Tapi tiba-tiba saya juga ingin pergi ke luar angkasa!” ucapku tanpa sadar.
“Benarkah? Apakah menurut Mbak Ratnasari kita bisa pergi bersama-sama?”
“Mungkin!” suaraku semakin lirih seperti tercekik. “Apakah kita akan meninggalkan bising bumi jika kita pergi? Apakah kita bisa santai terus menerus dan tak usah berlari terengah-engah untuk mengejar yang lain? Apakah kita bisa menikmati hidup dan bahagia di sana?”
“Saya belum tahu, Mbak!”
“Mas, Apakah kita hanya bulan madu atau tinggal disana?” Pertanyaanku semakin absurd.
“Kita lihat saja nanti keadaannya. Jika memungkinkan tempat kita terdampar itu ditinggali oleh manusia, mungkin kita akan membentuk koloni baru di sana. Untuk bersiap-siap, saya akan membawa sepasang kambing untuk diternakkan.”
“Kambing? Mengapa kambing?”
“Hanya itu daging yang bisa saya makan. Saya sangat menyukai daging kambing.”

***
Aku sudah mencoret semua kemungkinan mati di dunia. Kemungkinan aku akan melepaskan nyawaku di Luar Angkasa sungguh membuatku sangat bersemangat. Menarik, karena kita tak tahu apa yang akan terjadi di sana. Berapa lama kita akan bertahan di atmosfir yang tidak dikenali ritme tubuh kita? Apa yang akan kita lakukan di sana? Semua pemikiran itu membuatku menekuni situs-situs pencari. Mencari berbagai kemungkinan kehidupan di luar angkasa. Dan jika tak ada kehidupan di sana, jadilah.

Itu adalah cara bunuh diri yang paling fantastis. Bunuh diri bombastis.
Tubuh manusia didesain untuk berada dalam pengaruh gravitasi. Beberapa kosmonot yang pernah dikirim ke luar sana mengalami penurunan massa otot dan tulang sekitar 15 persen. Butuh tiga hari bagi mereka dapat mengembalikan kekuatan tubuh mereka untuk bergerak dalam pengaruh gravitasi. Semakin kita menjauhi bumi, semakin mendekati Jupiter, tulang kita akan mulai retak. Lalu saat kita mencapai Saturnus, tulang kita hancur karena terlalu lama berada pada lingkungan dengan gravitasi nol.
Tentunya dengan seorang pengikut, bunuh diri itu seperti legal. Karena ada yang membantuku melakukannya. Biar Radana yang mendapat imbas resikonya.
Esoknya aku pergi kerja dengan hati riang. Senang rasanya memiliki rencana.

Memiliki rencana dan menikmati prosesnya membuatku merasa hidup. Ironisnya, aku tengah merencanakan kematianku. Tapi aku yakin aku mati bahagia, karena aku yang memilih.

Radana meneleponku pada sore hari, mengabarkan hal yang membuatku girang. Dia yakin bahwa makhluk luar angkasa tak kasat mata pernah mendarat di bumi untuk melakukan bulan madu luar angkasa di Bumi. Menurutnya, Patung Dirgantara di Pancoran itu adalah salah satu stasiun transmisi mereka. Alien-alien dari berbagai penjuru galaksi berbondong-bondong pergi ke bumi untuk merayakan kopulasi mereka. Bumi adalah tempat favorit untuk reproduksi. Seminggu di Bumi, mereka pulang membawa benih anak-anak mereka yang tersimpan dalam kepala yang bervolume besar. Ingatkah UFO yang sempat terlihat di Jakarta beberapa waktu lalu? Mereka lupa memasang tabir penyembunyi saat mereka hendak mendarat di Patung Dirgantara.

Dia mengajakku pergi akhir pekan ini. Kami akan memanjat stasiun luar angkasa itu pada tengah malam, karena jadwal keberangkatan memang selalu disetel tengah malam, tatkala tak banyak mobil dan manusia berlalu lalang.

Stasiun Luar Angkasa itu sungguh berdebu. Baru saja kusentuhkan tanganku, debu hitam berminyak menempel tebal di telapakku. Bentuk tapak tanganku tertinggal di kaki patung berusia 42 tahun itu. Radana memberiku sarung tangan khusus yang bisa menempel dalam permukaan berdebu dan licin.

Kami mulai memanjat pukul satu pagi. Saat itu lalu lintas lengang, tak ada yang memerhatikan dua manusia memanjat patung setinggi 38 meter. Kami merangkak naik, pelahan, sambil menikmati desir angin, sesekali saling memandang penuh semangat.

Kami tiba di puncak voetstuk dengan tubuh yang kotor. Masih sebelas meter lagi untuk mencapai kepala patung, tetapi Radana bilang, Stasiun Luar Angkasa ini memang terletak di kaki sang patung perunggu seberat 11 ton tersebut. Tak ada tanda-tanda bahwa ini adalah sebuah stasiun yang menghubungkan bumi dengan planet-planet dan benda luar angkasa lain. Hanya dingin yang menusuk menggeletukkan gigi. Tak ada satupun benda yang mirip pesawat atau kendaran apapun.

Radana tampak tengah berada di loket tak terlihat, membeli karcis yang tak terlihat. Di tempat yang sama, ia seperti membuka pintu yang tak kasat mata, mengajakku serta. Tetapi kakiku keram dan tak dapat digerakkan karena dingin ini. Radana meloncat. Berteriak bahagia.
“Bulan madu luar angkasaaaaaa …. Kami datang!”
Aku melihatnya jatuh. Seperti gerakan slow motion dalam film. Dia melewati penyangga Patung Pancoran, semakin lama semakin ke bawah. Lalu. Brukkkk. Badannya berserakan di aspal.

Aku menatapnya dalam tubuh yang beku. Dalam ketakutan yang mencekam. Dalam horor akan kematian yang mengerikan. Aku tetap diam di sana hingga ada orang yang menemukan mayat Radana. Aku tetap menggigil hingga ada orang yang menyadari keberadaanku di puncak patung Dirgantara. Aku tetap diam ketika mereka mengevakuasiku dan membawaku turun.
Aku tetap diam.

7:26 PM | Posted in , | Read More »

Cermin

Perempuan itu datang saat lelaki itu pergi. Aku bahkan belum selesai melambaikan tangan perpisahan pada lelaki itu, tetapi dia sudah di sana, ribut minta perhatian. Kurang lebih, perempuan ini mirip dengan aku. Hanya saja dia sedikit lebih tinggi. Lebih tirus. Lebih langsing. Lebih menggemaskan. Lebih menggairahkan. Lebih. Stop. Aku tak perlu seseorang membanding-bandingkan diriku dengannya.

Perempuan ini tiba-tiba muncul saat aku tengah bercermin, memandangi wajahku dan membencinya. Dengan gayanya yang sok tahu, dia mengajukan beberapa pertanyaan mengesalkan padaku. Tepat di saat aku tidak ingin diingatkan tentang masalah itu.
“Jadi sekarang kamu sendirian lagi?” tanyanya sambil meniup-niup kuku yang baru saja ia warnai merah menyala. Aku tidak menjawab, hanya memerhatikan kuku menyala perempuan ini. Aku tak pernah cocok memakai kuteks warna merah menyala. Jari-jariku tidak panjang dan lentik, warna merah malah membuatnya semakin terlihat mungil.
“Iri ya liat aku pake kuteks?” tanyanya.
Aku memalingkan muka sambil mendengus.
“Mantan pacarmu itu tak suka ya lihat kukumu pake kuteks?” Dia berkata lagi, sengaja memperolokku. “Sekarang sudah boleh kok kalau kamu mau, nih!” ujarnya sambil mengangsurkan kuteks merah menyala itu ke hadapanku. Aku menolaknya. Tidak.
“Jadi ngomong-ngomong, kalian putus gara-gara kuteks, ya?”
Hah? Rasanya ingin sekali aku menyumpal mulutnya yang lancang itu. Apa sih maksudnya?
“Ngapain sih kamu di sini? Pergi sana!”
Perempuan yang mirip denganku itu bangkit dari meja rias tempatnya duduk, kini pindah ke sudut ranjang.
“Seolah-olah lo bisa ngusir gue aja,” gumamnya sambil masih meniup-niup kuku lalu merentangkan tangannya, melihat seberapa rapi pekerjaannya mengecat kuku.
“Sebenarnya kamu siapa, sih? Ngapain kamu di sini?”
“Pake nanya kamu siapa, lagi! I am you, you are me.” Jelasnya sambil menunjuk dadaku dan dadanya.
“Aku gak bitchy kayak kamu,” kataku sambil meneruskan kegiatanku menatap parasku di cermin. Dia berdiri di belakangku sambil tertawa-tawa sebagai reaksi atas kata-kataku barusan, pantulan tubuhnya yang mendekati sempurna tergambar di cermin.
“Face it, dear. Deep inside your heart, you’re a bitch!” oloknya.
Aku melempar sisir yang kupegang ke arahnya. Dia menghilang dan kembali menjelma di meja rias.
“You’re so annoying!” desisku.
“Hey, it’s better me who annoys you, dibandingin mantan pacar kamu yang payah itu. Tiap hari kamu melamun mikirin dia, nyesel kenapa dulu mutusin dia. Buat apa?”
“Buat apa?” sergahku. “I love him. He’s the best thing ever came into my love life. And for your information, my love life was used to be suck!”
“It still sucks, dear. Believe me.” Dia mengingatkan sambil cengengesan.
“Get lost!” desisku lagi.
“Hey … hey… chill out!”
“No, I can’t chill out while you’re still here and bug me! Just get outta here!”
“I’m coming here to help you. You’re such a mess. Look at you! How can anyone notice you if you keep showing up like this?” tanyanya sambil menunjuk wajah pucat pasi yang terpantul di cermin.
“Bodo,” seruku sambil berjalan ke ranjang, berbaring, dan menutupi seluruh tubuhku dengan bed cover, berharap perempuan pengganggu itu enyah.

Aku memejamkan mata, berharap agar bisa tidur. Tetapi malah wajah lelaki itu yang tergambar lagi. Kilasan-kilasan ingatan saat bersamanya tergambar lagi. Urat-urat tangannya yang menonjol, menciptakan sungai-sungai nadi di kulitnya. Dulu, aku senang membelai nadinya itu, menelusuri asalnya, dari mana dia mulai menonjol. Pelahan, seperti sedang mencari jejak. Dan dia akan membelai rambutku. Mata kami terpancang pada televisi, seolah-olah itulah hal paling menarik bagi kami. Tetapi padahal sebenarnya–setidaknya aku—hatiku berdesir, ingin menyentuhnya lebih lagi.
Perempuan pengganggu itu sepertinya sudah pergi. Suara-suara di sekitarku memudar, dan kutemukan tidur yang pulas.

Dua
“Kenapa matamu sembab?” tanyaku pada perempuan yang sedang membersihkan wajahnya dengan toner itu.
 “Kebanyakan tidur,” jawabnya.
“Boong. Abis nangis, kan?” tanyaku lagi.
“Nah itu tau ngapain nanya?”
“Cuma ngecek aja, apa kamu sudah jujur sama diri sendiri. Ternyata belum.”
“Terserahlah.”
“Nangisin apa?”
Dia tidak menjawab, hanya menatapku tajam sambil membuang kapas kotor ke tempat sampah di sebelah meja rias.
“Oh, mantan pacar kamu lagi, ya?”
Kini dia pura-pura tidak mendengarku, asyik mencolek krim malam dan mengaplikasikannya di wajahnya.
“Udahlah, berhenti mikirin dia. Masih banyak cowok … “
“…di luar sana. Ya ya ya. Aku tahu. Everybody says so.” Potongnya sambil memutar mata.
“Ya udah, ngapain nyiksa diri kayak gitu? Apa? Kamu mau datengin dia? Mau nyembah-nyembah di kakinya minta dia kembali? Mau minta maaf mohon-mohon buat sesuatu yang kamu sendiri bingung apakah kamu telah melakukannya? Iya? Gih pergi aja sana. Taruhan. Hebat kalo kamu enggak ditendang pergi,” aku mengatakan itu sambil terbahak. Lucu aja melihat dia cemberut dan menatapku seperti ingin membunuhku.
“Aku memang ingin membunuhmu,” desisnya.
“Sampai kapan kamu mau begini terus?”
“Sampai dia sadar kalau aku tidak bersalah,”
“Bagaimana dia tahu kalau kamu tidak bersalah?”
“Bicara padanya.”
“Apakah bicara padanya melibatkan proses membujuk, mengiba, lalu menyembah di kakinya?”
Dia mencibir.
“Iya ya? Begitu ya caranya?”
Wajahnya memucat memikirkan kemungkinan harus memeluk kaki lelaki itu dan mengiba, memohon agar diterima kembali.
“Tidak.” Ucapnya singkat.
“Lalu bagaimana?”
“Tidak tahu, aku belum pikirkan.”
“Kenapa juga sih kamu ingin kembali?”
“He’s the best thing ever came to my love life, okay? He’s the best kiss I’ve ever had. He’s the closest thing to a real relationship.”
“Ah, your real relationship is shit.”
“You don’t have to remind me.”
“Hmm, oke. Jadi kamu pengen balik karena ciumannya, ya?”
Dia mendelik.
“Nggak cuma itu. I love the way he holds me.” Ujarnya dengan mata mengawang-awang seperti sedang membayangkan peristiwa itu sedang terjadi.
“Does it comfort you?”
“Ummm, actually? No. But I like the way he cuddling me.”
“No? Why?”
“I don’t know. It was just something. Something wrong. Something not in its place.”
“What do you mean?”
“I don’t know what I mean. Why you ask?” dia bertanya dengan suara meninggi.
“Okay, okay. You’re grumpy old woman.”
“I’m not an old woman. I’m twenty five.”
“ I know that.”
“Who acts like seventeen,” tambahnya sambil jatuh tepekur. “Kenapa sih kami harus putus? I put my hope high on him. He’s gonna be the man I’d sleep with every day.”
“Why did you still not get the point?”
“What point?”
“Stop complaining. Focus on your next move. He’s not for you. He’s not that in to you. You throw him out after he knocked you down. You get hurt, then you refuse to feel hurt because of him anymore, and bum. He’s gone now.”
“He’s gone and then you came, you bitch!”
“I am a bitch. You should learn from me.”
“Seriously. You’re so annoying. I don’t need you to help me out of this situation. I can handle this myself.”
“You don’t seems you are,” ujarku. Dia menghentikan semua kegiatannya dan mengalihkan perhatian sepenuhnya padaku.
“I will,”
“Ya udah. Terserah kamu. Cuma aku males aja klo harus liat kamu nangis-nangis lagi. Ga penting, tau!”
“I love him,” katanya keukeuh.
“I know.”
“You have no idea how does it felt,”
“Sok tahu. I was there when you’re kiss. In fact, I’m the one who kiss him. Hahaha,” kataku jumawa. Dia jelek sekali kalau cemberut.
“Siaaaaal!” Teriaknya sambil melemparku dengan guling. Aku tak sempat mengelak dan menghilang dari pandangannya.

Tiga
Aku langsung mencarinya begitu masuk kamar. Aku bahkan tak sempat membuka sepatu boot Zara yang kukenakan dan langsung berjalan menuju cermin, menginjak karpet tebal dengan sol sepatuku.
“Hey…bitch! Where are youuuu?’ teriakku. Tiba-tiba aku merasakan kebutuhan mendesak untuk berbicara dengan perempuan berkuteks merah yang senang menggangguku itu. Perempuan itu tak muncul. Sebagai gantinya, di hadapanku, berdiri pantulan wajahku. Tampak lelah, tetapi berseri-seri. Ada rona merah di pipi.
Aku tersenyum pada bayanganku. Dia balas tersenyum.
“Ah, sebaiknya aku mandi,” gumamku sambil melepaskan satu-satu benda-benda yang melekat di tubuhku.

Empat
Sudah lama aku tidak mendatangi gadis patah hati yang baru putus itu. Sepertinya dia sudah tidak membutuhkanku lagi. Maka saat aku kembali muncul di hadapannya, aku agak terkejut karena dia sangat berubah. Tak ada lagi mata sembab karena kebanyakan menangis, tak ada lagi muka yang ditekuk. Bahkan, kini kukunya pun berkuteks. Tidak merah sih, tapi ya … berkuteks! Hahaha.

Dia menghadapiku dengan tenang, tidak dengan kebencian seperti sebelumnya. Dan sepertinya, dia memang menanti-nanti kedatanganku.
“Kamu kemana aja?”
“Ada,” jawabku standar.
“Aku mau cerita,”
“Tumben,”
Dia menyeringai seperti kucing Cheshire. “Hihi, malu,” ujarnya. Ah, minta ditoyor nih.
“Kenapa, kamu balikan lagi sama mantan pacar kamu itu?”
Dia hanya senyum-senyum sok misterius.
“Aku baca cerpen.” Akunya.
“Memangnya kenapa kalau kamu baca cerpen?”
“Cerpen itu memberiku inspirasi,”
“Inspirasi untuk apa?”
“Untuk mengajak seseorang bermuak-muakan,”
“Hah? Maksudnya?”
“Jadi begini, penulis cerpen itu bilang, dia juga sebenarnya terinspirasi dari salah satu episode Gossip Girl, ‘Let’s Get Sick of Each Other’.”
“Jadi?”
“Jadi aku mengikuti apa yang ada di cerpen itu. Aku mengajak seseorang, a particular stranger, to get sick of each other for a couple days,”
“Dia mau?”
“I took a break for a while from office, lalu pergi ke Bali bersamanya,”
“Siapa dia?”
“Only a stranger,”
“Lalu?”
“We get sick of each other! Hahahaha. Then I found myself back. My truly me, aku tanpa embel-embel apa-apa. Bukan aku yang pacarnya Gilang. Eh lupa, aku sama Gilang udah putus, ya? Hahaha,”
“Jadi kamu melupakan Gilang begitu saja dan jatuh cinta sama si orang asing ini?”
“Enggak kayak gitu juga sih, aku jadi mengikhlaskan Gilang. Aku ga menye-menye lagi kepingin dia balik.”
“So you get a new kiss?”
“Hahaha,”
“Lalu bagaimana dengan si orang asing ini? Apa yang terjadi di Bali?”
“Nothing, we just get sick of each other, we promise not to seeing each other again.”
“Really?”
“Yes, I will find someone, someone who’s not a stranger. Someone Mr. Right.”
“Congrats, then, I guess you wont need me anymore,” ujarku, tiba-tiba merasa sedih karena harus meninggalkannya.
“Why? Kamu masih boleh berkunjung ke sini kok kapan-kapan,”
“Kenapa? You’re blend with me now. You’re the same bitch with me now,”
Dia tertawa, tampak lepas. Lalu aku pergi, mencari gadis patah hati lain yang butuh bantuan.

From: Kompas.com

7:23 PM | Posted in , | Read More »

Dibalik Pintu

Aku memelihara jiwaku dengan rasa sakit. Dari perasaan itu, aku menghidupi ragaku.. Kau boleh bilang aku berlebihan, itu hakmu. Tapi aku hidup dari kepedihan itu. Aku bukan orang suci yang melakukan tapa, menolak segala kesenangan demi persembahan diri kepada Tuhan. Aku melakukan ini demi diriku sendiri, demi bertahan hidup.

Oh, janganlah dulu berpikir kalau aku menyakiti diriku sendiri demi mendapatkan kepedihan itu. Tidak, aku bukan seorang masokis. Dan jangan juga sempat terlintas di benakmu kalau aku menyiksa orang lain. Tidak, paling tidak, secara fisik, tidak.

Aku penulis, bukan penyihir. Meski aku menyerap energi negatifmu, mendeteksi setiap tangis dan luka di sudut-sudut jalan, dan mengubahnya menjadi tulisan. Aku hanya bisa menulis dari luka. Aku tak bisa menulis sesuatu yang menyenangkan, atau berakhir bahagia seperti dongeng kanak-kanak (tolong jangan masukkan dongeng H.C. Andersen dalam kriteria ini, ya?)

Aku menulis, saat menatap air bah, tumpah, menyeret semua benda yang bisa ia seret, di tengah-tengah gang, pemukiman penduduk yang padat. Gang kecil itu serupa parit-parit tempat air berpesta pora. Berombak-ombak, berwarna coklat, air bah coklat, seperti air bah yang menelan anak kecil rakus dalam cerita Roald Dahl. Bergulung-gulung membawa serta kursi plastik, kasur busa, perahu karet kami, terseret hingga ke muara. Sebuah tempat sampah raksasa.

Manusia-manusia pengungsi tertawa dalam gigil mereka. Ibu-ibu di lantai dua rumahnya yang masih terkena banjir membagi-bagikan teh panas dalam plastik, menolak dievakuasi lebih dulu. Konon, seorang kakek tenggelam di atas tempat tidurnya, lelap selamanya.

Aku menulis dalam sebuah upacara pemakaman. Aku menulis dalam kecelakaan pesawat. Aku menulis dalam cambuk yang mendera, dalam tamparan bolak-balik karena gagal menyelesaikan tugas sang dewa. Aku menulis dalam hinaan atas ketidaksempurnaan. Aku menulis di tengah-tengah perselingkuhan. Anak-anak yang kehilangan kedua orang tua mereka. Istri yang disia-siakan, suami yang ditinggalkan. Aku menulis dalam kegagalan. Aku menulis, memelihara jiwaku dalam kepedihan. Aku menyerap semuanya, mengubah mereka jadi bongkahan-bongkahan emas.

Ini dunia yang gila. Siapa bilang tragedi itu tidak menghibur?

Aku senang atas semua derita itu. Luka membuatku bertahan hidup. Ingat apa yang dikatakan Meredith Grey tentang kenikmatan dipukul palu berkali-kali? Karena kau akan merasakan betapa leganya dirimu saat itu berhenti.

Semua baik-baik saja. Aku perempuan yang ceria dan bahagia, tetapi bencana datang silih berganti, dan jemariku harus semakin cepat menari-nari di atas keyboard. Bencana yang disebabkan manusia harus diumumkan agar tidak terjadi lagi. Setiap orang tidak boleh disakiti oleh orang lain.

Byte demi byte file tulisanku memenuhi ruang kosong dalam hard disk laptopku. Angka demi angka mengalir ke rekeningku.
Manusia-manusia ini begitu menikmati membaca kisah sedih. Untuk mengingatkan mereka atas deritanya, melapangkan hati atas kenyataan tak hanya ia yang menderita. Atau, untuk mensyukuri keadaan mereka, yang telah begitu bahagia, tanpa harus mengalami bencana. Manusia begitu lekat dengan kesedihan.

Mereka memujanya.

Semua baik-baik saja. Industri luka ini tak pernah lekang dimakan trend, aku tetap hidup, bergelimang harta. Tetapi, tentu saja, itu terjadi sebelum dia datang.

Ia datang dengan sederhana. Tak ada gegap gempita, kembang api multi warna yang menandai kehadirannya dalam hidupku. Ia tidak membuatku terkesima karena keagungannya. Ia hanya muncul, berada di sana. Dan sekonyong-konyong yang kuinginkan hanyalah berada bersamanya. Ia seperti hantu, pelan-pelan menyelinap, mengisi ruangan kosong, menetap di sana. Begitu halus, begitu pelan, hingga tahu-tahu dia di sana, tak bisa dienyahkan.

Aku kehilangan daya untuk kembali menulis. Dia merenggut seluruh perhatianku, beralih hanya kepadanya. Dan aku takluk. Aku tak ingin beranjak, hanya ingin menikmati perhatiannya, selamanya. Aku lupa pada mimpi-mimpi. Obsesi. Keinginan untuk masa depan. Aku meluruhkan eksistensiku kedalamnya. Ke dalam dirinya, menjadi dirinya.

Kau. Merusak ekosistem dalam dunia imajinasiku. Seketika aku tak mengenal letak benda-benda. Ceruk tempat sembunyiku, tempat aku memetik ide-ide untuk tulisanku, lama-lama berubah, menjadi wilayah yang asing. Aku masuk lewat pintu yang sama, tetapi setting panggung di dalamnya sudah berubah. Pohon-pohon semakin tinggi tak teraih, dan aku semakin menyusut semakin mungil.

Dari bawah pohon-pohon itu aku menatap buah-buah ide bergelantungan, tampak segar dan manis, besar-besar, menerbitkan air liur, tapi aku tak bisa memetiknya. Semakin lama pohon-pohon itu semakin banyak, daun-daunnya merimbun hingga dunia di bawahnya menggelap. Buah-buah lebat itu, tak satupun tergoyangkan angin dan jatuh ke pangkuanku.

Tak ada angin di ceruk sembunyiku yang ini.

Aku berlari keluar, menutup pintu, membukanya lagi, masuk, tetapi keadaannya sama gelap seperti yang telah kutinggalkan beberapa detik lalu. Akhirnya aku memutuskan menyerah, dengan sesal menggelayut membebani bahu, sekali lagi kutatap buah-buah ide di atas sana. Waktunya berhenti.

“Sayang….” Dari luar, kudengar suara lembut-posesif memanggil. Aku menatap buah-buah yang memerah itu lagi, kini mereka melambai-lambai mengundangku.

“Sayang, kamu di mana?” suara lembut itu kembali memanggil. Aku masih mencoba memunculkan angin, agar setidaknya salah satu dari buah-ide itu jatuh ke pangkuanku, sebelum aku benar-benar menutup pintunya.

“Di situ kamu rupanya.” Ia mencium pipi kananku. Angin masih belum juga berhembus, buah-buah itu menggoyang-goyangkan dirinya, tapi tak satupun sudi mendatangiku.

“Hey.” Pemilik suara itu kembali berbicara.

Aku menutup pintunya. Kau berdiri di sampingku, menatap lurus ke layar laptopku sambil berkacak pinggang. Wajahmu tampak seperti sedang berpikir keras.

“Hey sayang….”

“Sudah sampai halaman berapa?” tanyamu. Padahal aku yakin kau sudah tahu dari keterangan yang berada di kiri bawah layar. Kursor berkelap-kelip di halaman empat. Masih jauh dari syarat.

“Liat aja.” Jawabku pasrah.

“Kok baru halaman empat sih? Waktu kamu kan enggak banyak. Bulan depan udah harus terbit loh. Sebentar lagi filmnya kan rilis.”

“Iya, aku tahu.”

“Makanya, kerjain dong.”

“Kamu tahu aku tidak terbiasa menulis yang seperti ini.”

“Iya aku tahu, tapi kalau kamu berhasil kan bisa jadi debutmu. Bahwa kau juga bisa menulis hal lain selain tragedi!” cetusmu tajam.

Aku diam, kembali menghadap layar laptopku. Di sebelahnya, tergeletak sebuah naskah skenario yang hampir kumal karena bolak balik dibaca. Kedua tanganku di atas keyboard. Aku sudah khatam dengan isi skenario itu. Sebuah kisah cinta monyet semanis gula, dari judulnya saja sudah terbaca tentang apa cerita itu; Monyet Gulali. Rasanya aku ingin membanting naskah itu, menginjak-injaknya, meremasnya, merobeknya, lalu mengakhiri semua aksi itu dengan membakarnya. Lengkap dengan sebuah seremonial agar semakin dramatis.

Dari awal aku tidak menginginkan pekerjaan ini. Tapi kamu memaksa, dan aku tak bisa menolak. Rupanya aku terkena karma tulisan-tulisanku sendiri. Dulu sebelum menerima lamaranmu, kau adalah lelaki yang penuh pengertian. Lelaki feminis yang mengerti apa yang diinginkan perempuan. Kamu adalah pemuja keturunan Hawa. Kamu lelaki yang too good too be true, dan ternyata benar, lelaki sepertimu hanyalah ilusi, karena kamu tidak begitu. Lelaki yang sempurna sepertimu hanya ada dalam kisah klasik, bahkan dalam cerita-cerita fiksi pun kriteria itu sudah berlebihan. Tak ada yang sebaik kamu. Secinta kamu. Semenarik kamu. Setampan kamu. Sepintar kamu. Tak ada.

Kau bangga kepadaku. Aku ini ratumu. Kamu itu penggemarku. Aku akan selalu mengingat pertemuan pertama kita. Bedah buku paling megah di ballroom sebuah hotel bintang lima. Aku duduk di bangku pembicara, dan kau adalah moderator yang piawai. Berkali-kali aku harus menyembunyikan pipiku yang bersemu merah setiap kali kau melontarkan pujian di depan ratusan penonton yang datang. Tubuhku panas dingin begitu acara itu selesai, hingga aku harus berlama-lama di toilet untuk mengembalikan suhu tubuhku yang normal.

Saat aku kembali, kau langsung mendekatiku, mengajak makan malam, dan berlanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Hingga aku mabuk asmara. Hingga aku memecat manajerku dan menggantikannya dengan engkau. Hingga kau mengambil alih semua aspek kehidupanku. Hingga kau menikahiku. Hingga kau menamparku saat aku menulis sesuatu yang tidak kau sukai. Hingga kau menyiksaku saat aku tak bisa melayanimu dengan baik. Hingga kau menyiramku dengan teh panas karena aku lupa tidak membubuhkan dua sendok teh gula ke dalamnya—kadang-kadang aku lebih menikmati teh pahit daripada yang manis. Hingga aku lupa rasanya menghirup udara di luar rumahku. Lupa rasanya berkumpul dengan teman-teman hanya untuk menyesap kopi yang lebih banyak bahan lainnya; krim, susu, gula, hazelnut, karamel, sebut saja.

“Lo bisa nggak sih kerja?” Kamu mengubah panggilan kamu. Ia telah selesai membaca keempat halamannya. Aku mulai mengkerut takut. Diambilnya naskah skenario kumal itu dan digulungnya, dipukulkannya ke wajahku bertubi-tubi.

“Lo tuh sakit ya! Bisanya cuma nulis tragedi, yang sedih-sedih, bencana, kematian, luka, duka. Nih gue kasih cerita yang happy, yang seneng-seneng aja, yang bahagia, yang manis-manis, malah mogok. Kenapa? Aneh banget sih lo? Lo gak mau ya hidup bahagia? Lo baru bisa kerja setelah bibir lo berdarah-darah gitu ya?” katamu membabi buta. “Sini, gue bikin berdarah.”

Aku mengigil. Akhir-akhir ini kau tidak terlalu sabar. Kau baik dan manis saat kau sabar, tapi aku tak pernah mengerti siklus naik pitammu hingga aku tak pernah siap. Siapapun takkan pernah merasa siap.

“Kenapa sih dari tadi lo diem aja! Ayo ngomong! Lawan gue! Ayo!” kamu semakin kesal karena aku bergeming. “Ayo buruan, jangan diem aja lo. Kerjain. Lo mau duit sepuluh juta melayang? Iya?” Kamu mengambil semua penghasilanku untuk bersenang-senang dengan perempuan lain. Mataku mulai nyalang, dan kembali kumulai proses membuka pintu itu lagi, berharap kali ini buah-buah ide itu berada di dahan rendah hingga aku bisa memetiknya.

Panas menyeruak saat aku membuka pintu. Bau pantai. Musik Hawaii. Buah Nanas. Pasir putih. Bentangan kain di atasnya dengan sebuah payung menancap. Di sebelahnya, sebuah kotak berisi minuman dingin. Ada dua judul buku tergeletak. Pandanganku agak buram hingga kusadari aku mengenakan kaca mata hitam. Angin pantai berdesir menyentuh kulitku yang telanjang. Oh, kali ini aku memakai bikini. Dengan santai, kubaringkan tubuhku di atas kain itu. Rasanya damai berada di pantai sepi ini. Debur ombak seperti lagu nina bobo yang pelan-pelan menyuruhku untuk terlelap.

Tapi, tiba-tiba air bergulung seperti naga laut yang hendak menerkam, menjulang tinggi sekali.

Tsunami datang!!!

7:21 PM | Posted in , | Read More »

Secangkir Kopi Basi

Ironis. Saat lubuk hati berniat untuk menjauh dari sebuah ingatan, bahkan secara konkret, terang-terangan terbang melintasi lautan, memori itu malah semakin tajam.

Semata-mata karena sebuah nama.

Nama yang ingin dilupakan. Nama yang seharusnya telah tersembunyi, tenang tak terjangkau dalam sebuah gua di tebing kalbu, layaknya jenazah para bangsawan Toraja yang diletakkan jauh dari tanah, dekat ke langit.

Namamu.

Kini terngiang-ngiang, menempati otakku.

Semua orang melisankannya, hanya karena seseorang bernama mirip denganmu. Kemudian secara otomatis setiap nama itu disuarakan, kenangan membanjir tak terbendung. Ingatan itu sungguh kejam. Ia menyerang saat kau lengah.

Sementara aku di sini, jauh di Pulau Jawa, kau melangsungkan ikatan suci. Di tempat ini aku bersembunyi dari kenangan-kenanganku yang menyiksa, menyaksikan pesta, sebuah perayaan untuk tubuh yang tiada lagi berisi roh. Ini adalah pelarian paling esktrim yang pernah kulakukan. Pelarian paling mahal. Dan mungkin pelarian yang paling tak berguna. Ya, tak berguna. Untuk apa aku lari jika disini aku masih mendengar namamu diucapkan?

Dan lalu, dengan senyum paling lebar ditato di wajah, aku berkilah: Ini liburan paling istimewa, paling eksotik, paling langka. Kapan lagi bisa menghadiri sebuah pemakaman yang kabarnya menghabiskan biaya tiga ratus milyar rupiah?

Ini tamasya ke ranah kematian.

Bagiku, kematian perasaan, untuk mengalami cinta yang baru.

Pakansi ini terasa sendu nan syahdu. Setiap sore sekumpulan lelaki berkumpul di tengah-tengah rante membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan melakukan ma’badong[1], menggumamkan lagu pilu. Namun, sudah tiada pedih yang menetap, hanya karat yang menebal karena oksidasi. Lalu betapa langit, berlawanan dengan keadaan hati semua orang, seperti sedang mengolok-olok dengan menggelontorkan hujan sepanjang hari. Membuat benak-benak berpikir tahyul, menghubung-hubungkan hujan dengan belasungkawa ini.

Aku tak melihat ada yang bersedih di sini. Air mata anggota keluarga yang ditinggalkan sudah kering. Nenek mereka telah pergi 8 tahun lalu, sudah terbiasa dengan ketiadaaannya. Aku yakin, yang tertinggal di peti mati itu kini hanyalah belulang yang tak lagi sempurna bentuk rangka manusianya, bertumpukan.

Akupun tak bermuram durja, karena aku kesini untuk mengubur sejumput ingatan. Nyerinya telah hilang sejak lama, hati telah ikhlas. Tetapi yang telah koyak, tak dapat kembali utuh. Kini rasanya kebas. Andai benar bisa kumakamkan luka ini di sini, kutinggalkan di sini, hingga saat aku kembali, aku lahir seperti baru.

Tetapi hal itu mustahil dilakukan jika namamu disebut setiap tujuh menit sekali. Telingaku sensitif dan terhubung langsung dengan hati. Namanya selalu terasosiasikan dengan namamu, dan itu memicu kenangan tentangmu.

“Kak Fitriiii! Ayo makan! Nanti steak tedongnya abis loh!” Natalie, cucu parenge[2] Nanggala[3] yang akan dimakamkan ini memanggilku kembali ke dunia nyata.

“Nggak ah, kakak ga makan!”

“Ah rugi looh…enak banget steaknya! Mmmm…mmmmm.”

Natalie yang akhir-akhir ini rapat sekali denganku berjalan mendekati sambil membuat mimik nikmat. Tangan mungilnya menggenggam tanganku, membawaku menuruni tangga bambu di Lantang itu menuju ruang makan.

Aku melihat kerbau itu disembelih pagi tadi. Ia kerbau yang kalah dalam ma’pasilaga tedong[4] kemarin sore. Matanya buta terkena tanduk lawannya. Badannya yang pejal tergores-gores. Aku menatapnya mati berkalang tanah dengan darah deras mengocor dari lehernya. Aku hanya memandanginya tanpa rasa, sebagai sebuah kewajiban moral untuk merasa kasihan pada makhluk malang itu. Aku menontonnya dikuliti, menyaksikan keempat pahanya dipisahkan dari badannya, otaknya dirogoh dari batok kepalanya yang dibagi dua oleh parang yang sangat tajam. Aku melihat perutnya masih penuh dengan rumput yang belum usai dicerna.

Kini bagian kecil kerbau itu berada di piring-piring saji di depanku. Orang-orang makan dengan lahap. Aku masih membayangkan darah yang mengocor dari lehernya.

“Kak Fitri! Makan!” perintah Natalie. “Aaaaah…pasti Kak Fitri nungguin Oom Pry yaaaa!”

Pry. Nama itu terucap lagi. Priyanto. Priyanto. Yang jauh di Pulau Jawa sana.

“Om Pry! Om Pry…cepetan keluar! Makaaan! Kak Fitri udah nungguin niiihhhh!” Natalie berteriak pada udara. Lelaki yang entah sedang berada di mana itu muncul seketika seakan punya kekuatan super. Entah karena mendengar kata ‘makan’, atau karena putri dari atasannya yang memanggil.

Tentara muda berpangkat sersan itu disambut oleh tangan Natalie yang menyeretnya dan mendudukkannya di sebelahku. Aku dan Pry saling menatap dan menahan tawa melihat ulah gadis cilik berumur enam tahun itu.

“Kalo pacaran, duduknya harus deketan!” jelasnya. Pry tak mengindahkan dan langsung mengambil piring kosong di hadapannya, tak sabar ingin segera menyantap daging tedong. Aku memperhatikan gerak geriknya. Selain nama panggilannya, tak ada yang serupa antara Priyanto dan Sertu Pry. Priyanto tak pernah rakus menyangkut makanan. Ia makan seperlunya, hanya kalau lapar. Ia bahkan mulai mengurangi daging dan belajar jadi vegetarian. Pry selalu makan seperti kelaparan, seolah takkan ada lagi makanan esok hari. Selalu tampak lahap dan menikmati, tak peduli seburuk apa cita rasa makanannya.

“Euh…Kak Fitri cinta yaaaa sama Om Pry! Dari tadi ngeliatin Om Pry terus. Ihhhh…pacaran ihhh!”

Aku membuang muka. Bukan begitu, Natalie…rutukku dalam hati.

“Emangnya pacaran itu apa sih, Nat?” Tanya Ibunya, yang sedikit terkejut dengan kefasihan putri kecilnya dengan kata pacaran.

“Pacaran itu ngomongin cinta!” jawabnya kenes. Cinta. Apakah cinta? Aku sendiri bahkan tak tahu, seperti apakah ngomongin cinta itu?

Pry tak peduli dengan celetukan-celetukan Natalie, konsentrasi penuh pada pangan di hadapannya. Aku tak menyentuh sedikitpun steak kerbau itu.

***

“Ga ada acara di Tongkonan Penanian hari ini! Jalan-jalan aja yuk!” Pry mendekatiku suatu pagi.

“Kemana?”

“Batu Tumonga!”

“Jauh nggak?”

“Sekitar sejaman lah! Yuks!”

“Sama siapa aja?”

“Berdua, nggak apa-apa kan? Lagian yang lain kan ke Gereja!”

Hanya kami berdua yang muslim di rombongan itu. Aku mengiyakan. Setelah dua hari, aku bosan dengan keadaan di Tongkonan dan ingin melihat sisi Tana Toraja yang lain. Pemandangan menuju Batu Tumonga sangatlah indah, meski rute menuju ke sana curam dan berkelok-kelok. Jalan hanya muat untuk satu mobil, membuatku panik jika berpapasan dengan mobil lain. Jika kami menepi terlalu pinggir, ada kemungkinan mobil ini terguling ke jurang dan kami tak dapat diselamatkan lagi.

“Jangan terlalu pinggir! Serem tau!”

“Iyaa..tenang aja! Ini hati-hati kok!”

Dengan keadaan jalan seperti itu, perjalanan 23 kilometer ini terasa semakin jauh. Apalagi kami diselimuti virus bisu. Entah kenapa, Pry yang biasanya tak bisa berhenti berkicau, kini diam saja. Sementara aku, tak berminat untuk berbicara.

“Beneran kamu kesini buat liburan?” tanyanya di tikungan tajam ke limapuluh dua.

“Iya…pengen tau aja adat Toraja!”

“Kamu keliatan sedih, kayak lagi mikirin sesuatu.”

“Namanya juga dateng ke pemakaman, harus menyesuaikan diri dong! Kan dalam suasana duka!”  sangahku tertawa.

“Gak segitunya kali…Keliatannya, sedih kamu dari dalam hati, bukan akting gara-gara dateng kesini!”

“Mau sedih mau seneng, bukan urusanmu juga, kan?” ujarku menutup pertanyaan lanjutan darinya.

“Di atas ada restoran Mentiro-tiku. Makanannya sih biasa aja, tapi kita bisa melihat kota Rantepao dari atas. Indah sekali. Melihat rumah-rumah seperti miniatur dalam permainan monopoli, bikin kita merasa sangat kecil di hadapan Tuhan!”

“Hmmmm!”

“Fit…kamu lihat batu-batu di atas sana? Yang ada patungnya! Itu kuburan!”

“Batu besar itu? Yang hitam?”

“Iya! Di daerah ini banyak sekali batu yang ukurannya luar biasa besar. Orang-orang Toraja memahatnya dan memasukkan jenazah ke dalamnya. Kamu bisa lihat kuburan seperti itu di sepanjang jalan ini!”

“Ini benar-benar tanah kematian! Rasanya aku melihat makam dimanapun!”

“Ya…upacara pemakaman adalah upacara yang paling penting disini.” Pry yang dua minggu lebih dulu dariku berada disini, menjelaskan dengan fasih.

“Bagi penduduk sini, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’[5] maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, dia harus dirawat dan diperlakukan seperti orang yang masih hidup. Harus ada yang menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh almarhum, harus terus dijalankan seperti biasanya.”

“Rambu solo’ itu, upacara pemakaman?”

“Iya!”

“Sungguh kematian yang merepotkan!”

Aku datang kesini tanpa pengetahuan cukup tentang adat Toraja, kecuali bahwa mereka menyimpan jenazah di gunung-gunung, sebuah ingatan samar dari sebuah acara televisi yang lupa kapan dan dimana aku menyaksikannya. Kelak, aku baru tau keseluruhan ceritanya dari wikipedia.

“Nah..kita sampai!” ujar Pry sambil menunjuk bangunan di atas jalan. Mobil perlu mendaki empat puluh derajat kecuraman untuk sampai di parkiran Mentiro-tiku. Restoran itu penuh dengan turis asing yang menikmati makanan. Aku langsung memburu toilet sementara Adityo menempati kursi yang berlatar langsung langit dan awan-awan. Ini seperti restoran megah yang melayang, di ketinggian 1300 meter dari permukaan laut. Kita bisa menatap awan ada di bawah kita.

“Tinggi banget. Kalau melihat keindahan ini, rasanya ketakutan jatuh ke jurang waktu di jalan tadi terbayar sudah. Trus, apa menu istimewa di sini?”

“Yang istimewa adalah pemandangannya!” jawab Pry. “Dan tentunya, yang menemaniku.” Tambahnya.

Aku menatapnya tajam.

“Maksudmu?”

“Nggak, ga ada maksud apa-apa. Lupakan! Nikmati saja pemandangan indah ini. Sini aku fotoin! Bagus kalo difoto di sudut itu!” kilahnya menghindar.

“Nggak pesen makanan? Biasanya kan kamu rakus!”

“Hahaha…rakus kalo gratis.”

“Murahan!” tawaku berderai bersamanya.

Malamnya kami berbagi kasur lipat di lantang yang sama. Terpaksa, karena lantang yang biasa kutempati penuh oleh tamu sang empunya. Berbeda dengan lantang di depan rante yang lebih mewah, bersih dan hangat dengan kasur dan selimut tebal, lantang ini luar biasa dingin. Apalagi hujan tak reda juga. Aku tak dapat tidur. Meski hidungku kini mulai kebal dengan bau babi dan kotorannya, tetapi telingaku tak dapat mentolerir babi yang menguik-nguik kedinginan, atau jika mereka cukup cerdas, memikirkan nyawa mereka yang akan melayang esok.

Pry masih di bawah, bercanda dengan Natalie yang sibuk melahap Pa’piyong dengan nasi. Aku telah aman bergelung dalam jaket tebal dan kain bali yang tipis untuk menutupi kaki yang paling mudah terserang dingin. Angin mendesak masuk lewat lubang-lubang tak tertutupi kain.

“Om Pry serius ga mau makan Pa’piyongnya? Enak loh!” terdengar suara samar gadis itu membujuk Pry untuk mencicipi daging babi yang dimasukkan ke dalam bambu bersama bumbu-bumbu lalu dibakar.

“Om Pry kenyang!”

“Cobain dikiiiit aja!”

“Nanti Om Pry gendut kayak Natalie! Masa tentara perutnya genduuutt?”

Aku tertawa sendiri membayangkan perut six pack Pry digantikan gelambir lemak.

“Yaaah…Om Pry ga asik! Padahal enak banget nih!”

Terdengar seseorang bangkit dari duduknya, lalu tangga bambu menuju lantai dua berkeriut saat dihujam beban.

“Fit…udah tidur?”

“Om Pry ngapain ke ataaaasss? Mau pacaran sama kak Fitri yaaaa!!! Hayooo pacaran teruuuss!” Natalie berteriak, lalu diikuti cekakak girang.

“Ssst..kak Fitri udah tidur! Jangan teriak2 Nat!”

Suara lantai kayu terinjak sungguh nyaring, meningkahi uikan babi dari luar. Ia berjongkok di depanku.

“Dingin ya? Kok cuma pake kain bali sih? Pake aja selimutku, aku gampang…nanti nyari lagi, minjem lantang orang!” sambil berbicara ia menutupi tubuhku dengan selimutnya yang tebal. Saat merapikan selimutnya hingga leher, tangannya mengelus rambut, lalu pipiku.

“Selamat tidur!” Pry mencondongkan tubuhnya mencium pipiku. Aku menutup mataku erat-erat, mencoba mengenyahkan sebuah kenangan. Lalu mengambil sudut yang jauh dari tempatku, ia membaringkan tubuhnya, meringkuk seperti bola. Malam itu sungguh-sungguh dingin.

Aku ingat, itu adalah ciuman terakhir kami hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyerah dan mengikuti keinginan orang tuanya. Sama seperti malam ini, hujan turun deras. Kami kuyup setelah bermotor dari rumahnya, bertemu dengan orang tuanya, yang konsisten menolak kehadiranku sebagai calon menantu.

Ini upaya terakhir kami untuk meluluhkan hati kedua orang tua Priyanto. Setelah delapan tahun main kucing-kucingan, backstreet, putus sambung, akhirnya kami memutuskan untuk datang baik-baik meminta restu. Aku membawakan makanan masakan sendiri. Tetapi, apapun yang kulakukan takkan pernah membuatku menjadi seorang Jawa di mata mereka. Begitu pantang mereka menikahkan putra utamanya dengan seorang gadis sunda sepertiku. Begitu kuat mitos larangan itu mencengkram pemikiran mereka. Aku tak dapat melawannya, dan Priyanto tak mampu menyandang predikat durhaka.

Aku terusir, dengan barang bawaanku utuh, kubawa kembali. Aku tak menangis, tak guna menangisi yang tak perlu. Aku hanya perlu pulang, dan membuang makanan favorit ibunya ini ke tempat sampah. Aku bersyukur karena tak perlu menikahi Priyanto dan bersitegang selalu dengan ibunya. Sekali saja seperti ini cukup. Aku takkan tahan berada dalam kondisi serupa berkali-kali –- hal yang mungkin terjadi seandainya aku memaksa menikah dengannya.

Ia yang menangis. Priyanto yang menangis dilindungi hujan yang mengalir di pipinya. Ia berkata bahwa ia akan mengantarku pulang, berjanji itu untuk yang terakhir kalinya. Orangtuanya tak menanggapi dan membiarkanku dilarikan motornya. Lalu hujan jatuh. Jatuh membadai. Aku mengeratkan peganganku pada pinggang Priyanto, menyadari bahwa ini adalah yang pamungkas. Aku tak lagi bisa sedekat ini. Mungkin nanti, menatap pun akan menimbulkan masalah.

Lalu ia mencium pipiku di bawah hujan, mencium ubun-ubun, mencium bibir.

Saat itulah kusadari betapa hujan ini asin.

Lalu kini, delapan bulan kemudian, ribuan kilometer dari Jakarta, air mata baru saja mampir. Pipiku basah.

Melupakan bukanlah perkara mudah.

***

“I saw you crying!” tudingnya.

“Haaa…salah liat! Basah dikencingin cicak kali!” gurauku, meski merinding juga jikalau itu benar-benar terjadi.

“Beneran, kamu nangis ya semalem? Bilang aja kalo ada apa-apa. Om Pry siap membantu.” Ujarnya menepuk dada.

“Menangis semalam…kayak lagu aja! Nggak lah, ngapain nangis?”

“Kali aja…pengen dipeluk sama Om Pry, terus karena ga berani minta, ahirnya nangis sendiri!”

Aku mendengus. Dengan mudah, sendok kayu itu mampir di kepala cepak si kurang ajar itu. Ia malah tertawa-tawa semakin mengejek.

“Monyet!”

“Tedong!”

“Om Pry pacaraaaaaannnnn!” Natalie lagi, girang gemirang menatap kami berduaan lagi.

“Emang…!” Pry merangkulku.

Pagi itu, seluruh keluarga bersiap untuk acara penerimaan tamu. Orang-orang dari berbagai pelosok akan datang menyampaikan bela sungkawa dengan membawa babi atau kerbau ke tongkonan. Sore nanti adalah ma’pasilaga tedong, ajang para penjudi menentukan taruhan. Rasanya aku malas mengikuti prosesi hari ini. Ma’pasilaga tedong mungkin akan menarik. Tapi tegakah aku melihat kedua makhluk itu saling melukai?

Perasaanku tidak enak, ada sesuatu yang terjadi di Jakarta. Sesuatu yang tidak menyenangkan. Pernikahan Priyanto, tentu saja, mengakibatkan perasaan buruk. Tapi bukan itu yang meresahkanku. Sesuatu yang lain, yang belum ketahuan apa wujudnya.

Aku langsung menelepon maskapai penerbangan untuk mengubah jadwal terbangku agar bisa pulang lusa. Biar aku pergi dari Toraja besok. Hari ini berkemas, lalu naik bis selama delapan jam menuju Makassar. Aku ingin pulang.

Aku hanya pamitan pada keluarga yang menjamuku selama di Toraja. Tergesa-gesa dengan perasaan tak menentu. Padahal aku kesini untuk membenahi rasa, tetapi berada di tempat ini malah semakin tak karuan. Pry mengganggu program detoksifikasi hati. Bagaimana bisa aku kembali dengan semangat baru jika berada disini menebalkan rasaku pada Priyanto, merimbunkan nelangsaku?

***

“Hey, kenapa pulang ga bilang-bilang?” Pry langsung meneleponku begitu mengetahui aku tak lagi berada di Toraja. Saat itu aku masih menunggu pesawat di Bandara Sultan Hasanuddin. Gelisahku semakin menajam seiring berjalannya waktu. Perasaan tidak enak ini, ada apa?

Aku mengatakan yang sejujurnya. Ada firasat buruk, ucapku. Tetapi ia malah bertanya-tanya tentang keanehan sikapku selama di Toraja.

“Kamu sedang melarikan diri dari sesuatu, ya? Kamu ga benar-benar ingin liburan, ya?”

“Kenapa kamu begitu ingin tau?”

“Karena kamu aneh banget. Dikit-dikit mellow, dikit-dikit ketawa keras banget. Kayak kena manic depressed. Aku penasaran.”

“Cuma itu? Karena aku keliatan kayak orang gila?”

“Yaaa….enggak gitu juga sih.”

“Trus?”

“Aku ga suka aja liat kamu sedih!”

Aku langsung malas. Rayuan basi. Kami baru kenal, tak mungkin ia sepeduli itu.

“Ya, aku dateng emang bukan liburan. Aku ingin mengubur ingatan.”

“Sampai terbang jauh-jauh ke Toraja? Kamu kacau juga ya? Trus…kenapa pulang sebelum waktunya?”

“Karena kamu!” Akhirnya aku tak menutup-nutupi.

“Aku? Kenapa? Apakah aku melakukan sesuatu yang buruk?”

“Nggak ada. Cuma namamu aja!”

“Namaku? Ah kamu mulai ga masuk akal.”

“Emang ga masuk akal kan? Dateng jauh-jauh ke Toraja cuma buat ngubur kenangan, menghindari pernikahannya, trus balik lagi cuma gara-gara nama kamu sama dengan namanya. Emang aku ga masuk akal kan? Emang aku sakit jiwa!” semburku tak dapat menahan luapan emosi.

“Lemah banget!” komentarnya. “Cuma gara-gara ditinggal kawin ya?”

“Udah deh…jangan usil jangan sok peduli. Kamu enggak tau apa-apa!”

Aku menutup teleponnya. Heran. Laki-laki kok usil banget sih?

Lalu ia berkali-kali mencoba meneleponku, tak lagi kuangkat.

***

Jakarta persis sama seperti waktu kutinggalkan empat hari lalu. Tak ada yang berubah. Argo taksi tetap mahal. Malam-malam masih macet. Dan musim hujan begini, waspada banjir. Yang berbeda adalah status Priyanto. Tak lagi kekasihku, tak lagi lelaki lajang. Ia suami orang sekarang. Rasanya aku malas melakukan apapun. Cutiku masih tiga hari lagi, tetapi aku enggan pergi ke kantor. Aku hanya berleha-leha saja di rumah, menatap ke luar, ke kompleks yang membosankan di luar sana. Seteko Arabica menemaniku hingga perutku terasa dikocok-kocok karena kopi yang kubawa dari Toraja itu menyerang lambungku.

Aku menyaksikan aktivitas di luar jendela rumahku dengan intens, aku memperhatikan semuanya. Tetapi langsung melupakannya begitu mereka berlalu.

Saat senja, sebuah mobil tak dikenal berhenti di depan pagar. Aku dapat mendengar pengendaranya menutup pintu lalu berjalan memutari bagian belakang mobil untuk mencapai pagar rumahku. Aku terkesiap saat melihat siapa orangnya.

Rambutnya acak-acakan dan berminyak, seperti berhari-hari tidak dicuci. Tampangnya masam dan tampak tertekan. T-shirtnya kusut. Ia membuka pagar rumahku. Suara berderit karat besi yang tak diminyaki menyilet telinga. Ia mengetuk pintu. Aku berdiri di pintu itu lama. Menyentuhkan telapak tanganku di pintu itu. Aku sungguh merindukannya.

Pintu itu kubuka pelan-pelan.

“Pry.”

Ia tampak terkejut melihatku ada di rumah, terbata-bata berbasa basi, bertanya mengapa aku ada di rumah bukannya di kantor. Aku mempersilahkannya duduk, dan menyuguhi kopi basi tadi pagi dalam teko di meja tamu.

“Aku malas ke belakang.” kataku. “Minum ini aja ya, kopi tadi pagi. Belum basi-basi amat kok. Masih banyak di teko ini, belum habis. Perutku keburu meronta sakit.”

“Banyak hal yang terjadi saat kita tak bertemu.”

Aku diam menanti kata-kata selanjutnya.

“Aku tak jadi menikah.”

Kepalaku mencoba mencerna ucapannya barusan, tetapi tak bereaksi apapun.

“Shilla mengalami kecelakaan sehari sebelum akad nikah. Dia koma. Orang tuaku juga berada dalam mobil itu. Mereka baik-baik saja, hanya luka kecil, tak begitu serius. Seharusnya aku tak membiarkannya menyetir.”

Tubuh Pry mulai terguncang-guncang karena ledakan emosi.

Perasaan apakah ini? Lega, karena Priyanto tidak jadi menikah? Tetapi mengapa seperti ada lubang kosong menganga di dalam sini? Sebuah kesadaran menggempur dahsyat. Menonjok jantug. Ia datang bukan karena masih mencintaiku, tetapi karena kebutuhannya untuk bercerita. Ia datang padaku karena selama ini akulah yang menampung kisah-kisahnya. Menampung senangnya, sedihnya, frustasinya, suksesnya. Hari ini dia datang bukan untuk menyampaikan kembali cintanya padaku. Ia datang karena terbiasa denganku. Dan saat ini, dia datang dalam duka, karena kehilangan orang yang disayanginya.

Kutuangkan kopi basi itu ke dalam cangkir, kuserahkan padanya. Ia meneguknya pelan-pelan. Aku menuangkan secangkir lagi untukku. Rasa kopi itu asam pahit. Aku tak membubuhkan gula banyak-banyak. Perutku lagi-lagi seperti diremas-remas jemari bercakar tajam. Hatiku sama saja.

Kami duduk berdua, dengan secangkir kopi basi di tangan masing-masing, dan kenangan yang membunuh tentang orang-orang tercinta.

Dari kamarku, sayup-sayup telepon genggamku berbunyi. Jika aku kesana untuk mengangkatnya, itu Pry.

Depok, 11/2/2008 9:16:02 PM
[1] Ma’badong satu tarian upacara asal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian Ma’badong ini diadakan pada upacara kematian yang dilakukan secara berkelompok. Para penari (pa’badong) membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan dan umumnya mereka berpakaian hitam-hitam.

Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking. Penari terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa’badong melantunkan syair (Kadong Badong) riwayat hidup, sejak lahir sampai wafat dari orang yang meninggal dunia. Tarian Ma’badong ini kadang menelan waktu berjam-jam, malah berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.

[2] bangsawan

[3] Nanggala, salah satu kecamatan di Kabupaten Toraja Utara. Di tempat ini terdapat Tongkonan Penanian, kompleks lumbung dan rumah adat.

[4] Ma’pasilaga Tedong adalah salah satu rangkaian acara yang selalu ada dalam setiap pemakaman di Toraja. Dua ekor tedong atau kerbau saling beradu hingga salah satu dari mereka melarikan diri tanda menyerah kalah. Kegiatan ini sering dijadikan ajang judi dalam masyarakat Toraja. Acara ini bisa ditonton ratusan orang yang berduyun-duyun dari berbagai pelosok.

[5] Upacara Pemakaman

From: Majalah Femina, 2008

7:17 PM | Posted in , | Read More »

Mengirim Senja

Waktu aku tiba di pesisir ini, senja baru saja melangkah. Aku dan senja saling menatap, saling menyapa. Betapa ayu senja kala itu. Ribuan keluang betebangan keluar dari gua-gua mereka di balik pohon-pohon yang rapat di Hutan Sancang di sebelah kiriku. Bena menampar-nampar karang. Matahari memantai dan hanya menyisakan semburat indigo. Ada ungu keemasan beraduk garis-garis horizontal merah bercampur hitam dan biru. Tak ada nyiur melambai dalam rangkaian tarian laut. Semata sunyi. Tapi jika kau memasang telingamu dengan waspada, tentu kau bisa menangkap debur ombak pasang.

Tapi detik ini, hanya mata yang hirau akan senja itu. Jikapun kalong-kalong pada senja itu bercericau, atau peri-peri yang berupa kirana-kirana putih cerlang di lautan yang hitam itu menggumamkan senandung, aku abai. Karena kini, hanya lanskap senja saja yang menarik perhatianku.

Tentunya, ini bukanlah sepotong senja yang dimasukkan ke dalam amplop untuk seorang pacar bernama  Alina. Memang, ada angin dan debur ombak di senja yang kulihat kini. Tapi seperti sudah kubilang tadi, tak ada lagi mentari, karena ia telah tergelincir jatuh dalam lekapan malam. Langit pun tak sepenuhnya berwarna keemasan seperti senja milik Sukab, tapi nila. Tak ada burung atau perahu seperti senja yang dikirimkan Sukab pada Alina.[1]

Ah, menatap senja seistimewa ini tiba-tiba saja aku ingin mengerat senja itu jadi seukuran kartu pos dan mengirimkannya buat pacarku. Aku ingin ia memiliki lempengan senja yang ini, sebelum langit sepenuhnya hitam dan satu-satunya petunjuk bahwa kau tengah berada di tubir pantai hanyalah dari suara air memukul-mukul daratan dan menyeret serta pasir-pasir basah.

Tapi aku tak siap. Aku kan tak tahu bahwa aku kan berhadapan dengan senja yang begini. Mana aku ingat untuk menyiapkan cutter dan amplop dan perangko untuk selempeng senja yang langitnya penuh codot, yang dihutan-hutan yang menjadi kawan setianya tinggal harimau jadi-jadian yang jika pagi tiba kau dapat melihat jejak-jejaknya di pasir putih. Aku tak siap dengan amplop dan perangko, sedangkan kantor pos pun tak kutemui ada dekat sini.

Keputusan itu harus segera kuambil. Lima menit lagi, belum tentu langitnya tetap seperti ini. Aku tak mau mengirimkan senja yang hitam karena nantinya ia takkan bisa menatap semburat warna marun itu diantara dominasi violet dan biru. Ia juga takkan dapat melihat buih bergulung kembali ke pelukan samudera. Dan kepak sayap kelelawar, jangan lupakan hewan mamalia terbang itu! Ia takkan mendapatkan semua visual itu jika langit telah gelap. Ia harus mendapatkannya utuh. Senja seperti yang memukauku saat ini.

Ketika aku bersiap hendak mengirimkan senja itu, tiba-tiba aku teringat sebuah masalah krusial dan sangat menentukan; tak ada pacar untuk dikirimi senja. Padahal aku sudah menemukan cara paling efektif, yang paling mudah, cepat dan murah agar senja itu bisa dinikmati di tempat selain pantai. Hanya sejarak jari telunjuk dan jempol.

Namun pertanyaan yang mengganggu saat ini adalah: siapa yang akan kukirimi selempeng senja ini?

Senja semanis ini tak boleh dinikmati sendirian. Dalam saujana senja dan kilauan air laut ini, jika kau sendiri, kau akan mabuk dan larut dalam kesunyian yang depresif. Sepi akan mencuri sedikit demi sedikit kemampuan serabut aferen mengirimkan impuls ke otak, dan serabut eferen gagal menerjemahkan perintah otak kepada organ-organ tubuh hingga lumpuh. Dan enzim-enzim yang melumasi persendianmu, akan disedot pelan-pelan hingga kau melunglai lemas. Jadi senja ini harus kukirimkan secepatnya, agar efek dari senja yang manis ini tak membunuhku.

***

Bibirnya adalah bibir paling manis yang pernah kusesap. Yang paling menawan yang pernah kusentuh. Aku hendak menyesapnya lagi, sedikit, sedikit, sedikit lagi…hingga telepon genggam di atas meja kaca itu bergetar memekakkan sebuah ringtone polyphonic. Telingaku pengang. Bibirku kering dan haus.

Aku ingin melempar benda itu jauh-jauh, tapi siapa tahu ini panggilan penting. Perempuan berbibir manis itu terduduk kaku, menyentuh bibirnya canggung. Ia menatapku bergantian dengan ponsel yang merajuk-rajuk ingin dicemplungkan ke dalam bak mandi.

“Halo?” sapaku setelah kutekan tombol berlampu hijau itu.

“Pak, saya bermaksud menawarkan senja! Murah, Pak! Lengkap! Ini jenis senja pantai yang paling indah. Senja yang langka!”

Bapak. Aku tak suka dipanggil bapak. Umur, suara, dan penampilanku belum mencukupi untuk gelar bapak. Perempuan di ujung telepon merepet terus sebelum aku sempat bilang bahwa aku tak tertarik. Aku sedang haus ingin menyesap lagi bibir paling manis milik perempuan di hadapanku, yang mulai menatapku tak suka karena panggilan telfon ini.

“Maaf, tapi saya….!”

Usaha saya untuk berbicara dipatahkan begitu perempuan disana kembali mericau.

“Dijamin asli Pak! Bapak tidak akan rugi. Senja ini berwarna ungu, dengan bintang-bintang yang mulai berdatangan. Yah, memang sih bulan sudah tak utuh lagi. Tapi apa guna rembulan jika di horison terbentang langit paling cantik? Saya hanya menawarkan satu senja saja. Khusus untuk Bapak! Ada layanan antar jika bapak…”

“Tapi saya tidak…!”

“Dan Bapak harus segera memesannya sebelum langit berubah warna. Saya bisa bungkuskan sekarang juga dan dimasukkan freezer, agar posisi setiap benda tak berubah dan air asin takkan tumpah membanjiri rumah Bapak! Saya juga sudah menyiapkan paket pengawet agar Bapak bisa menikmati senja itu kapanpun bapak suka! Pagi-siang-sore-malam-pagi lagi, kapanpun! Tak masalah! Dan Bapak juga bisa…..”

“Saya tidak tertarik!” tukasku gusar. Saya harus segera menghentikan pembicaraan tak berguna ini.

“Bapak bisa tidur malam dengan hawa pantai! Ada harum cangkang kerang, juga wangi angin bergaram, bau pelagas yang melayang-layang di permukaan laut, dan perempuan-perempuan mungil bersayap transparan yang baru mandi dan berhamburan keluar dari rumah-rumah mereka yang tersembunyi. Telinga bapak juga dihibur dengan perirana laut. Ada desih pasir-pasir saling bergesekan, gurauan sesama peri dan lengking tawa merdu mereka.”

Perempuan berbibir menawan mulai tak sabar. Dari gelagatnya seperti itu, aku khawatir dia akan membadai sebentar lagi. Ini akan jadi masalah pelik, jika perempuan disana tak segera menutup telfonnya. Permasalahannya akan jauh lebih rumit andaipun senja yang ditawarkan SPG di sebalik telfon itu menyemburkan tsunami.

“Bapak tidak akan kecewa karena saya akan mengirimkannya langsung kesana. Murah sekali pak, tapi bisa juga jadi sangat mahal. Bapak cuma harus mengeluarkan secuit cinta. Tak sulit bukan? Untuk sekadar mencongkel sedikiiiiit saja cinta yang Bapak punya? Cinta itu bilapun dibagi-bagi dicubit-cubit sana sini takkan habis bukan? Sayang sekali jika Bapak melewatkan penawaran ini dan membiarkan senja itu hilang begitu saja. Saya akan kirimkan sampelnya dulu, dan akan saya kirimkan selebihnya jika bapak setuju dengan penawaran saya!”

Klik. Ia menutup telfonnya.

Wanita yang kucintai pergi dari hadapanku, meledak dalam amarah.

***

Aku melangut dengan hati ngenas. Ia tampaknya tak tertarik dengan senja itu. Senjanya musnah kini lekat dalam kenang. Formula senja habis oleh waktu. Aku kembali ke metropolitan hanya dengan sejentik ingatan tentang senja yang menghuni sebuah lokus kecil di otak. Tapi, ingatan itupun korup, tak lagi sempurna. Tak lagi serupa dengan senja yang kulihat sore itu. Yang paten bertahan, malah getir.

***

Sales Promotion Girl yang menjual senja padaku lewat telfon akhir pekan lalu benar-benar mengganggu liburanku. Berbeda dengan SPG lain yang dengan segera kulupakan begitu suaranya lenyap, pemikiran tentangnya mengikutiku kemanapun aku pergi. Dan lagi, penjual senja itu membuat kekasihku luka. Ingatan tentang senja itu mencekau kepalaku dan membuatnya nyeri.

Aku tak dapat lagi menikmati senja dengan baik sejak saat itu. Senja telah kuasosiasikan dengan tsunami yang merontokkan riangku. Aku tak dapat meyakinkan perempuanku bahwa telfon itu hanyalah sebuah penawaran seorang skizofrenia yang menyaru jadi sales promotion girl dan berniat menjual senja.

Haha..bagaimana cara menjual senja lengkap dengan desir angin dan bauran ombak dan suara peri dan wangi laut? Absurd!!

Apa lagi yang harus kukatakan agar perempuan pemesona itu luluh dan percaya padaku? Telah kubilang padanya kalau aku takkan mungkin menyerahkan cintaku demi selempeng senja yang bahkan tak mungkin dikerat untuk lalu dipajang di dinding ruang tamu. Tapi ia malah membanjir tangis dan menghukumku dengan amarahnya.

***

Mungkin tak sepantasnya aku mencoba menjual senja padanya. Mungkin seharusnya kuberikan saja secara  cuma-cuma. Sakit karena kehilangan senja ungu itu pasti sama rasanya biarpun aku memberikannya gratis ataupun kujual. Tapi yang pasti, aku tak bisa selamanya menyembunyikan lempengan senja ini. Kelumpuhanku semakin pasti sekian lama senja ini berada di dekatku. Besok, akan kukirimkan lempeng senja ini dan kuselipkan di bawah pintu rumahnya selagi ia masih di kantor.

***

Sebuah paket berisi senja kutemukan di bawah pintuku petang itu.

Awalnya, tentu saja aku tak tahu bahwa paket tersebut berisi senja bermasalah itu. Aku baru mengetahuinya saat kurobek kertas koran penutupnya. Sebentuk senja dengan semburat ungu menyeruak menyilaukan netra. Indaaaah sekali. Lama aku menatapnya tiada kedip.

(Hingga kutemukan di pojok bawah kanan lempengan senja itu, siluet seorang perempuan duduk di atas karang. Suara tangisnya sayup diantara debur ombak, tinggal berupa sisa sengal, berharap laut membawanya pergi).

Di senja yang manis dan memancang mataku itu, perempuan sales girl menangis.

From: Majalah Femina, 2007

7:12 PM | Posted in , | Read More »

Blog Archive

Labels

Recently Added

Recently Commented