|

Secangkir Kopi Basi

Ironis. Saat lubuk hati berniat untuk menjauh dari sebuah ingatan, bahkan secara konkret, terang-terangan terbang melintasi lautan, memori itu malah semakin tajam.

Semata-mata karena sebuah nama.

Nama yang ingin dilupakan. Nama yang seharusnya telah tersembunyi, tenang tak terjangkau dalam sebuah gua di tebing kalbu, layaknya jenazah para bangsawan Toraja yang diletakkan jauh dari tanah, dekat ke langit.

Namamu.

Kini terngiang-ngiang, menempati otakku.

Semua orang melisankannya, hanya karena seseorang bernama mirip denganmu. Kemudian secara otomatis setiap nama itu disuarakan, kenangan membanjir tak terbendung. Ingatan itu sungguh kejam. Ia menyerang saat kau lengah.

Sementara aku di sini, jauh di Pulau Jawa, kau melangsungkan ikatan suci. Di tempat ini aku bersembunyi dari kenangan-kenanganku yang menyiksa, menyaksikan pesta, sebuah perayaan untuk tubuh yang tiada lagi berisi roh. Ini adalah pelarian paling esktrim yang pernah kulakukan. Pelarian paling mahal. Dan mungkin pelarian yang paling tak berguna. Ya, tak berguna. Untuk apa aku lari jika disini aku masih mendengar namamu diucapkan?

Dan lalu, dengan senyum paling lebar ditato di wajah, aku berkilah: Ini liburan paling istimewa, paling eksotik, paling langka. Kapan lagi bisa menghadiri sebuah pemakaman yang kabarnya menghabiskan biaya tiga ratus milyar rupiah?

Ini tamasya ke ranah kematian.

Bagiku, kematian perasaan, untuk mengalami cinta yang baru.

Pakansi ini terasa sendu nan syahdu. Setiap sore sekumpulan lelaki berkumpul di tengah-tengah rante membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan melakukan ma’badong[1], menggumamkan lagu pilu. Namun, sudah tiada pedih yang menetap, hanya karat yang menebal karena oksidasi. Lalu betapa langit, berlawanan dengan keadaan hati semua orang, seperti sedang mengolok-olok dengan menggelontorkan hujan sepanjang hari. Membuat benak-benak berpikir tahyul, menghubung-hubungkan hujan dengan belasungkawa ini.

Aku tak melihat ada yang bersedih di sini. Air mata anggota keluarga yang ditinggalkan sudah kering. Nenek mereka telah pergi 8 tahun lalu, sudah terbiasa dengan ketiadaaannya. Aku yakin, yang tertinggal di peti mati itu kini hanyalah belulang yang tak lagi sempurna bentuk rangka manusianya, bertumpukan.

Akupun tak bermuram durja, karena aku kesini untuk mengubur sejumput ingatan. Nyerinya telah hilang sejak lama, hati telah ikhlas. Tetapi yang telah koyak, tak dapat kembali utuh. Kini rasanya kebas. Andai benar bisa kumakamkan luka ini di sini, kutinggalkan di sini, hingga saat aku kembali, aku lahir seperti baru.

Tetapi hal itu mustahil dilakukan jika namamu disebut setiap tujuh menit sekali. Telingaku sensitif dan terhubung langsung dengan hati. Namanya selalu terasosiasikan dengan namamu, dan itu memicu kenangan tentangmu.

“Kak Fitriiii! Ayo makan! Nanti steak tedongnya abis loh!” Natalie, cucu parenge[2] Nanggala[3] yang akan dimakamkan ini memanggilku kembali ke dunia nyata.

“Nggak ah, kakak ga makan!”

“Ah rugi looh…enak banget steaknya! Mmmm…mmmmm.”

Natalie yang akhir-akhir ini rapat sekali denganku berjalan mendekati sambil membuat mimik nikmat. Tangan mungilnya menggenggam tanganku, membawaku menuruni tangga bambu di Lantang itu menuju ruang makan.

Aku melihat kerbau itu disembelih pagi tadi. Ia kerbau yang kalah dalam ma’pasilaga tedong[4] kemarin sore. Matanya buta terkena tanduk lawannya. Badannya yang pejal tergores-gores. Aku menatapnya mati berkalang tanah dengan darah deras mengocor dari lehernya. Aku hanya memandanginya tanpa rasa, sebagai sebuah kewajiban moral untuk merasa kasihan pada makhluk malang itu. Aku menontonnya dikuliti, menyaksikan keempat pahanya dipisahkan dari badannya, otaknya dirogoh dari batok kepalanya yang dibagi dua oleh parang yang sangat tajam. Aku melihat perutnya masih penuh dengan rumput yang belum usai dicerna.

Kini bagian kecil kerbau itu berada di piring-piring saji di depanku. Orang-orang makan dengan lahap. Aku masih membayangkan darah yang mengocor dari lehernya.

“Kak Fitri! Makan!” perintah Natalie. “Aaaaah…pasti Kak Fitri nungguin Oom Pry yaaaa!”

Pry. Nama itu terucap lagi. Priyanto. Priyanto. Yang jauh di Pulau Jawa sana.

“Om Pry! Om Pry…cepetan keluar! Makaaan! Kak Fitri udah nungguin niiihhhh!” Natalie berteriak pada udara. Lelaki yang entah sedang berada di mana itu muncul seketika seakan punya kekuatan super. Entah karena mendengar kata ‘makan’, atau karena putri dari atasannya yang memanggil.

Tentara muda berpangkat sersan itu disambut oleh tangan Natalie yang menyeretnya dan mendudukkannya di sebelahku. Aku dan Pry saling menatap dan menahan tawa melihat ulah gadis cilik berumur enam tahun itu.

“Kalo pacaran, duduknya harus deketan!” jelasnya. Pry tak mengindahkan dan langsung mengambil piring kosong di hadapannya, tak sabar ingin segera menyantap daging tedong. Aku memperhatikan gerak geriknya. Selain nama panggilannya, tak ada yang serupa antara Priyanto dan Sertu Pry. Priyanto tak pernah rakus menyangkut makanan. Ia makan seperlunya, hanya kalau lapar. Ia bahkan mulai mengurangi daging dan belajar jadi vegetarian. Pry selalu makan seperti kelaparan, seolah takkan ada lagi makanan esok hari. Selalu tampak lahap dan menikmati, tak peduli seburuk apa cita rasa makanannya.

“Euh…Kak Fitri cinta yaaaa sama Om Pry! Dari tadi ngeliatin Om Pry terus. Ihhhh…pacaran ihhh!”

Aku membuang muka. Bukan begitu, Natalie…rutukku dalam hati.

“Emangnya pacaran itu apa sih, Nat?” Tanya Ibunya, yang sedikit terkejut dengan kefasihan putri kecilnya dengan kata pacaran.

“Pacaran itu ngomongin cinta!” jawabnya kenes. Cinta. Apakah cinta? Aku sendiri bahkan tak tahu, seperti apakah ngomongin cinta itu?

Pry tak peduli dengan celetukan-celetukan Natalie, konsentrasi penuh pada pangan di hadapannya. Aku tak menyentuh sedikitpun steak kerbau itu.

***

“Ga ada acara di Tongkonan Penanian hari ini! Jalan-jalan aja yuk!” Pry mendekatiku suatu pagi.

“Kemana?”

“Batu Tumonga!”

“Jauh nggak?”

“Sekitar sejaman lah! Yuks!”

“Sama siapa aja?”

“Berdua, nggak apa-apa kan? Lagian yang lain kan ke Gereja!”

Hanya kami berdua yang muslim di rombongan itu. Aku mengiyakan. Setelah dua hari, aku bosan dengan keadaan di Tongkonan dan ingin melihat sisi Tana Toraja yang lain. Pemandangan menuju Batu Tumonga sangatlah indah, meski rute menuju ke sana curam dan berkelok-kelok. Jalan hanya muat untuk satu mobil, membuatku panik jika berpapasan dengan mobil lain. Jika kami menepi terlalu pinggir, ada kemungkinan mobil ini terguling ke jurang dan kami tak dapat diselamatkan lagi.

“Jangan terlalu pinggir! Serem tau!”

“Iyaa..tenang aja! Ini hati-hati kok!”

Dengan keadaan jalan seperti itu, perjalanan 23 kilometer ini terasa semakin jauh. Apalagi kami diselimuti virus bisu. Entah kenapa, Pry yang biasanya tak bisa berhenti berkicau, kini diam saja. Sementara aku, tak berminat untuk berbicara.

“Beneran kamu kesini buat liburan?” tanyanya di tikungan tajam ke limapuluh dua.

“Iya…pengen tau aja adat Toraja!”

“Kamu keliatan sedih, kayak lagi mikirin sesuatu.”

“Namanya juga dateng ke pemakaman, harus menyesuaikan diri dong! Kan dalam suasana duka!”  sangahku tertawa.

“Gak segitunya kali…Keliatannya, sedih kamu dari dalam hati, bukan akting gara-gara dateng kesini!”

“Mau sedih mau seneng, bukan urusanmu juga, kan?” ujarku menutup pertanyaan lanjutan darinya.

“Di atas ada restoran Mentiro-tiku. Makanannya sih biasa aja, tapi kita bisa melihat kota Rantepao dari atas. Indah sekali. Melihat rumah-rumah seperti miniatur dalam permainan monopoli, bikin kita merasa sangat kecil di hadapan Tuhan!”

“Hmmmm!”

“Fit…kamu lihat batu-batu di atas sana? Yang ada patungnya! Itu kuburan!”

“Batu besar itu? Yang hitam?”

“Iya! Di daerah ini banyak sekali batu yang ukurannya luar biasa besar. Orang-orang Toraja memahatnya dan memasukkan jenazah ke dalamnya. Kamu bisa lihat kuburan seperti itu di sepanjang jalan ini!”

“Ini benar-benar tanah kematian! Rasanya aku melihat makam dimanapun!”

“Ya…upacara pemakaman adalah upacara yang paling penting disini.” Pry yang dua minggu lebih dulu dariku berada disini, menjelaskan dengan fasih.

“Bagi penduduk sini, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’[5] maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, dia harus dirawat dan diperlakukan seperti orang yang masih hidup. Harus ada yang menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh almarhum, harus terus dijalankan seperti biasanya.”

“Rambu solo’ itu, upacara pemakaman?”

“Iya!”

“Sungguh kematian yang merepotkan!”

Aku datang kesini tanpa pengetahuan cukup tentang adat Toraja, kecuali bahwa mereka menyimpan jenazah di gunung-gunung, sebuah ingatan samar dari sebuah acara televisi yang lupa kapan dan dimana aku menyaksikannya. Kelak, aku baru tau keseluruhan ceritanya dari wikipedia.

“Nah..kita sampai!” ujar Pry sambil menunjuk bangunan di atas jalan. Mobil perlu mendaki empat puluh derajat kecuraman untuk sampai di parkiran Mentiro-tiku. Restoran itu penuh dengan turis asing yang menikmati makanan. Aku langsung memburu toilet sementara Adityo menempati kursi yang berlatar langsung langit dan awan-awan. Ini seperti restoran megah yang melayang, di ketinggian 1300 meter dari permukaan laut. Kita bisa menatap awan ada di bawah kita.

“Tinggi banget. Kalau melihat keindahan ini, rasanya ketakutan jatuh ke jurang waktu di jalan tadi terbayar sudah. Trus, apa menu istimewa di sini?”

“Yang istimewa adalah pemandangannya!” jawab Pry. “Dan tentunya, yang menemaniku.” Tambahnya.

Aku menatapnya tajam.

“Maksudmu?”

“Nggak, ga ada maksud apa-apa. Lupakan! Nikmati saja pemandangan indah ini. Sini aku fotoin! Bagus kalo difoto di sudut itu!” kilahnya menghindar.

“Nggak pesen makanan? Biasanya kan kamu rakus!”

“Hahaha…rakus kalo gratis.”

“Murahan!” tawaku berderai bersamanya.

Malamnya kami berbagi kasur lipat di lantang yang sama. Terpaksa, karena lantang yang biasa kutempati penuh oleh tamu sang empunya. Berbeda dengan lantang di depan rante yang lebih mewah, bersih dan hangat dengan kasur dan selimut tebal, lantang ini luar biasa dingin. Apalagi hujan tak reda juga. Aku tak dapat tidur. Meski hidungku kini mulai kebal dengan bau babi dan kotorannya, tetapi telingaku tak dapat mentolerir babi yang menguik-nguik kedinginan, atau jika mereka cukup cerdas, memikirkan nyawa mereka yang akan melayang esok.

Pry masih di bawah, bercanda dengan Natalie yang sibuk melahap Pa’piyong dengan nasi. Aku telah aman bergelung dalam jaket tebal dan kain bali yang tipis untuk menutupi kaki yang paling mudah terserang dingin. Angin mendesak masuk lewat lubang-lubang tak tertutupi kain.

“Om Pry serius ga mau makan Pa’piyongnya? Enak loh!” terdengar suara samar gadis itu membujuk Pry untuk mencicipi daging babi yang dimasukkan ke dalam bambu bersama bumbu-bumbu lalu dibakar.

“Om Pry kenyang!”

“Cobain dikiiiit aja!”

“Nanti Om Pry gendut kayak Natalie! Masa tentara perutnya genduuutt?”

Aku tertawa sendiri membayangkan perut six pack Pry digantikan gelambir lemak.

“Yaaah…Om Pry ga asik! Padahal enak banget nih!”

Terdengar seseorang bangkit dari duduknya, lalu tangga bambu menuju lantai dua berkeriut saat dihujam beban.

“Fit…udah tidur?”

“Om Pry ngapain ke ataaaasss? Mau pacaran sama kak Fitri yaaaa!!! Hayooo pacaran teruuuss!” Natalie berteriak, lalu diikuti cekakak girang.

“Ssst..kak Fitri udah tidur! Jangan teriak2 Nat!”

Suara lantai kayu terinjak sungguh nyaring, meningkahi uikan babi dari luar. Ia berjongkok di depanku.

“Dingin ya? Kok cuma pake kain bali sih? Pake aja selimutku, aku gampang…nanti nyari lagi, minjem lantang orang!” sambil berbicara ia menutupi tubuhku dengan selimutnya yang tebal. Saat merapikan selimutnya hingga leher, tangannya mengelus rambut, lalu pipiku.

“Selamat tidur!” Pry mencondongkan tubuhnya mencium pipiku. Aku menutup mataku erat-erat, mencoba mengenyahkan sebuah kenangan. Lalu mengambil sudut yang jauh dari tempatku, ia membaringkan tubuhnya, meringkuk seperti bola. Malam itu sungguh-sungguh dingin.

Aku ingat, itu adalah ciuman terakhir kami hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyerah dan mengikuti keinginan orang tuanya. Sama seperti malam ini, hujan turun deras. Kami kuyup setelah bermotor dari rumahnya, bertemu dengan orang tuanya, yang konsisten menolak kehadiranku sebagai calon menantu.

Ini upaya terakhir kami untuk meluluhkan hati kedua orang tua Priyanto. Setelah delapan tahun main kucing-kucingan, backstreet, putus sambung, akhirnya kami memutuskan untuk datang baik-baik meminta restu. Aku membawakan makanan masakan sendiri. Tetapi, apapun yang kulakukan takkan pernah membuatku menjadi seorang Jawa di mata mereka. Begitu pantang mereka menikahkan putra utamanya dengan seorang gadis sunda sepertiku. Begitu kuat mitos larangan itu mencengkram pemikiran mereka. Aku tak dapat melawannya, dan Priyanto tak mampu menyandang predikat durhaka.

Aku terusir, dengan barang bawaanku utuh, kubawa kembali. Aku tak menangis, tak guna menangisi yang tak perlu. Aku hanya perlu pulang, dan membuang makanan favorit ibunya ini ke tempat sampah. Aku bersyukur karena tak perlu menikahi Priyanto dan bersitegang selalu dengan ibunya. Sekali saja seperti ini cukup. Aku takkan tahan berada dalam kondisi serupa berkali-kali –- hal yang mungkin terjadi seandainya aku memaksa menikah dengannya.

Ia yang menangis. Priyanto yang menangis dilindungi hujan yang mengalir di pipinya. Ia berkata bahwa ia akan mengantarku pulang, berjanji itu untuk yang terakhir kalinya. Orangtuanya tak menanggapi dan membiarkanku dilarikan motornya. Lalu hujan jatuh. Jatuh membadai. Aku mengeratkan peganganku pada pinggang Priyanto, menyadari bahwa ini adalah yang pamungkas. Aku tak lagi bisa sedekat ini. Mungkin nanti, menatap pun akan menimbulkan masalah.

Lalu ia mencium pipiku di bawah hujan, mencium ubun-ubun, mencium bibir.

Saat itulah kusadari betapa hujan ini asin.

Lalu kini, delapan bulan kemudian, ribuan kilometer dari Jakarta, air mata baru saja mampir. Pipiku basah.

Melupakan bukanlah perkara mudah.

***

“I saw you crying!” tudingnya.

“Haaa…salah liat! Basah dikencingin cicak kali!” gurauku, meski merinding juga jikalau itu benar-benar terjadi.

“Beneran, kamu nangis ya semalem? Bilang aja kalo ada apa-apa. Om Pry siap membantu.” Ujarnya menepuk dada.

“Menangis semalam…kayak lagu aja! Nggak lah, ngapain nangis?”

“Kali aja…pengen dipeluk sama Om Pry, terus karena ga berani minta, ahirnya nangis sendiri!”

Aku mendengus. Dengan mudah, sendok kayu itu mampir di kepala cepak si kurang ajar itu. Ia malah tertawa-tawa semakin mengejek.

“Monyet!”

“Tedong!”

“Om Pry pacaraaaaaannnnn!” Natalie lagi, girang gemirang menatap kami berduaan lagi.

“Emang…!” Pry merangkulku.

Pagi itu, seluruh keluarga bersiap untuk acara penerimaan tamu. Orang-orang dari berbagai pelosok akan datang menyampaikan bela sungkawa dengan membawa babi atau kerbau ke tongkonan. Sore nanti adalah ma’pasilaga tedong, ajang para penjudi menentukan taruhan. Rasanya aku malas mengikuti prosesi hari ini. Ma’pasilaga tedong mungkin akan menarik. Tapi tegakah aku melihat kedua makhluk itu saling melukai?

Perasaanku tidak enak, ada sesuatu yang terjadi di Jakarta. Sesuatu yang tidak menyenangkan. Pernikahan Priyanto, tentu saja, mengakibatkan perasaan buruk. Tapi bukan itu yang meresahkanku. Sesuatu yang lain, yang belum ketahuan apa wujudnya.

Aku langsung menelepon maskapai penerbangan untuk mengubah jadwal terbangku agar bisa pulang lusa. Biar aku pergi dari Toraja besok. Hari ini berkemas, lalu naik bis selama delapan jam menuju Makassar. Aku ingin pulang.

Aku hanya pamitan pada keluarga yang menjamuku selama di Toraja. Tergesa-gesa dengan perasaan tak menentu. Padahal aku kesini untuk membenahi rasa, tetapi berada di tempat ini malah semakin tak karuan. Pry mengganggu program detoksifikasi hati. Bagaimana bisa aku kembali dengan semangat baru jika berada disini menebalkan rasaku pada Priyanto, merimbunkan nelangsaku?

***

“Hey, kenapa pulang ga bilang-bilang?” Pry langsung meneleponku begitu mengetahui aku tak lagi berada di Toraja. Saat itu aku masih menunggu pesawat di Bandara Sultan Hasanuddin. Gelisahku semakin menajam seiring berjalannya waktu. Perasaan tidak enak ini, ada apa?

Aku mengatakan yang sejujurnya. Ada firasat buruk, ucapku. Tetapi ia malah bertanya-tanya tentang keanehan sikapku selama di Toraja.

“Kamu sedang melarikan diri dari sesuatu, ya? Kamu ga benar-benar ingin liburan, ya?”

“Kenapa kamu begitu ingin tau?”

“Karena kamu aneh banget. Dikit-dikit mellow, dikit-dikit ketawa keras banget. Kayak kena manic depressed. Aku penasaran.”

“Cuma itu? Karena aku keliatan kayak orang gila?”

“Yaaa….enggak gitu juga sih.”

“Trus?”

“Aku ga suka aja liat kamu sedih!”

Aku langsung malas. Rayuan basi. Kami baru kenal, tak mungkin ia sepeduli itu.

“Ya, aku dateng emang bukan liburan. Aku ingin mengubur ingatan.”

“Sampai terbang jauh-jauh ke Toraja? Kamu kacau juga ya? Trus…kenapa pulang sebelum waktunya?”

“Karena kamu!” Akhirnya aku tak menutup-nutupi.

“Aku? Kenapa? Apakah aku melakukan sesuatu yang buruk?”

“Nggak ada. Cuma namamu aja!”

“Namaku? Ah kamu mulai ga masuk akal.”

“Emang ga masuk akal kan? Dateng jauh-jauh ke Toraja cuma buat ngubur kenangan, menghindari pernikahannya, trus balik lagi cuma gara-gara nama kamu sama dengan namanya. Emang aku ga masuk akal kan? Emang aku sakit jiwa!” semburku tak dapat menahan luapan emosi.

“Lemah banget!” komentarnya. “Cuma gara-gara ditinggal kawin ya?”

“Udah deh…jangan usil jangan sok peduli. Kamu enggak tau apa-apa!”

Aku menutup teleponnya. Heran. Laki-laki kok usil banget sih?

Lalu ia berkali-kali mencoba meneleponku, tak lagi kuangkat.

***

Jakarta persis sama seperti waktu kutinggalkan empat hari lalu. Tak ada yang berubah. Argo taksi tetap mahal. Malam-malam masih macet. Dan musim hujan begini, waspada banjir. Yang berbeda adalah status Priyanto. Tak lagi kekasihku, tak lagi lelaki lajang. Ia suami orang sekarang. Rasanya aku malas melakukan apapun. Cutiku masih tiga hari lagi, tetapi aku enggan pergi ke kantor. Aku hanya berleha-leha saja di rumah, menatap ke luar, ke kompleks yang membosankan di luar sana. Seteko Arabica menemaniku hingga perutku terasa dikocok-kocok karena kopi yang kubawa dari Toraja itu menyerang lambungku.

Aku menyaksikan aktivitas di luar jendela rumahku dengan intens, aku memperhatikan semuanya. Tetapi langsung melupakannya begitu mereka berlalu.

Saat senja, sebuah mobil tak dikenal berhenti di depan pagar. Aku dapat mendengar pengendaranya menutup pintu lalu berjalan memutari bagian belakang mobil untuk mencapai pagar rumahku. Aku terkesiap saat melihat siapa orangnya.

Rambutnya acak-acakan dan berminyak, seperti berhari-hari tidak dicuci. Tampangnya masam dan tampak tertekan. T-shirtnya kusut. Ia membuka pagar rumahku. Suara berderit karat besi yang tak diminyaki menyilet telinga. Ia mengetuk pintu. Aku berdiri di pintu itu lama. Menyentuhkan telapak tanganku di pintu itu. Aku sungguh merindukannya.

Pintu itu kubuka pelan-pelan.

“Pry.”

Ia tampak terkejut melihatku ada di rumah, terbata-bata berbasa basi, bertanya mengapa aku ada di rumah bukannya di kantor. Aku mempersilahkannya duduk, dan menyuguhi kopi basi tadi pagi dalam teko di meja tamu.

“Aku malas ke belakang.” kataku. “Minum ini aja ya, kopi tadi pagi. Belum basi-basi amat kok. Masih banyak di teko ini, belum habis. Perutku keburu meronta sakit.”

“Banyak hal yang terjadi saat kita tak bertemu.”

Aku diam menanti kata-kata selanjutnya.

“Aku tak jadi menikah.”

Kepalaku mencoba mencerna ucapannya barusan, tetapi tak bereaksi apapun.

“Shilla mengalami kecelakaan sehari sebelum akad nikah. Dia koma. Orang tuaku juga berada dalam mobil itu. Mereka baik-baik saja, hanya luka kecil, tak begitu serius. Seharusnya aku tak membiarkannya menyetir.”

Tubuh Pry mulai terguncang-guncang karena ledakan emosi.

Perasaan apakah ini? Lega, karena Priyanto tidak jadi menikah? Tetapi mengapa seperti ada lubang kosong menganga di dalam sini? Sebuah kesadaran menggempur dahsyat. Menonjok jantug. Ia datang bukan karena masih mencintaiku, tetapi karena kebutuhannya untuk bercerita. Ia datang padaku karena selama ini akulah yang menampung kisah-kisahnya. Menampung senangnya, sedihnya, frustasinya, suksesnya. Hari ini dia datang bukan untuk menyampaikan kembali cintanya padaku. Ia datang karena terbiasa denganku. Dan saat ini, dia datang dalam duka, karena kehilangan orang yang disayanginya.

Kutuangkan kopi basi itu ke dalam cangkir, kuserahkan padanya. Ia meneguknya pelan-pelan. Aku menuangkan secangkir lagi untukku. Rasa kopi itu asam pahit. Aku tak membubuhkan gula banyak-banyak. Perutku lagi-lagi seperti diremas-remas jemari bercakar tajam. Hatiku sama saja.

Kami duduk berdua, dengan secangkir kopi basi di tangan masing-masing, dan kenangan yang membunuh tentang orang-orang tercinta.

Dari kamarku, sayup-sayup telepon genggamku berbunyi. Jika aku kesana untuk mengangkatnya, itu Pry.

Depok, 11/2/2008 9:16:02 PM
[1] Ma’badong satu tarian upacara asal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian Ma’badong ini diadakan pada upacara kematian yang dilakukan secara berkelompok. Para penari (pa’badong) membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan dan umumnya mereka berpakaian hitam-hitam.

Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking. Penari terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa’badong melantunkan syair (Kadong Badong) riwayat hidup, sejak lahir sampai wafat dari orang yang meninggal dunia. Tarian Ma’badong ini kadang menelan waktu berjam-jam, malah berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.

[2] bangsawan

[3] Nanggala, salah satu kecamatan di Kabupaten Toraja Utara. Di tempat ini terdapat Tongkonan Penanian, kompleks lumbung dan rumah adat.

[4] Ma’pasilaga Tedong adalah salah satu rangkaian acara yang selalu ada dalam setiap pemakaman di Toraja. Dua ekor tedong atau kerbau saling beradu hingga salah satu dari mereka melarikan diri tanda menyerah kalah. Kegiatan ini sering dijadikan ajang judi dalam masyarakat Toraja. Acara ini bisa ditonton ratusan orang yang berduyun-duyun dari berbagai pelosok.

[5] Upacara Pemakaman

From: Majalah Femina, 2008

Posted by capunx on 7:17 PM. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "Secangkir Kopi Basi"

Leave a reply

Blog Archive

Labels

Recently Added

Recently Commented